Lihat ke Halaman Asli

Tentang Rumah di Pinggir Pantai Berdinding Kaca..

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“….”
“saya masih punya mimpi.
masih ingin sekali mebuatkanmu rumah
di pinggir pantai,
dindingnya kaca.
seperti yang pernah saya janjikan padamu.
walaupun kamu gak pernah bilang pengen ditinggali bareng siapa..
saya masih ingin menatap ceria wajahmu,
manisnya senyumanmu,
dan merasakan dingin tanganmu saat saya genggam..
kau dengar itu, t?
yah, sudah gak dijawab.
sudah tidur y?
maaf tadi sudah mencium keningmu diam-diam..
gak ada yang berubah, t.
saya masih sayang sama mu..”
tut.. tut.. tut..

suara orang di seberang menghilang. ternyata telponnya sudah ditutup. saya belum tidur. tadikan pura-pura aja. hehe.
entah angin apa yang membawamu malam ini. setelah sekian lama menghilang. maaf tadi tak sempat tanyakan kabarmu. semoga kamu baik-baik saja.
saya mungkin tidak tau persis apa yang ada di otakmu saat ini. mungkin saja, apa yang kau katakan itu semuanya benar. atau setengah benar. atau tidak ada yang benar. entahlah. yah, untuk kali ini maaf untuk tidak peduli.

saya memang ingin sekali dibuatkan rumah di pinggir pantai dengan dinding kaca. oleh mu. “nanti saya bayar, berapapun kamu mau. tapi keknya gratis saja ya, onta.”
BODOH!
“jangan liat saya keq gitu!” hahhaahhaha.. ternyata oh ternyata..

sebenarnya saya benci “dipaksa” mengenang yang sudah lalu tentangmu. saya terlalu malas mengingat-ingat. saya takut candu. dan akhirnya ragu. kita sudah beda. tidak lagi tentang satu tujuan. tidak lagi tentang rumah di pinggir pantai dengan dinding kaca. tidak lagi tentang senyum delapan tahun yang lalu. atau jalan panjang dari pertigaan ke sekolah. tak ada lagi pantai tempat kita teriak-teriak gak jelas. atau ban motor yang sering banget pecah. hujan dengan mu yang membuat saya dijewer habis-habisan. atau sapaan lembut ibumu tiap saya ke rumahmu, “eh, ada anak mantu. sini makan dulu.” sigh!! saya benci untuk kenangan tentangmu yang meminta selalu diingat.
huh..
sudahlah. saya tidak akan peduli lagi. lukanya sudah kering, jangan biarkan berdarah lagi. katamu kau sakit, begitu juga saya…
selebihnya, simpan saja.

*maaf…
karena ada hati yang saya harus jaga dan kisah yang akan saya teruskan atas izin-Nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline