Menjelang Pilkada Serentak 2024, generasi Milenial dan Gen Z menjadi fokus utama para calon kepala daerah. Gen Z sebagai generasi muda menjadi lumbung suara para calon kepala daerah. Sebagaimana dilansir dari news.detik.com terdapat 203 juta orang yang terdaftar sebagai pemilih di pilkada serentak 2024. Terdapat 203 juta pemilih, 25,69% di antaranya masuk kategori umur generasi Z atau Gen Z dan 33% merupakan generasi Milenial.
Berbagai upaya untuk menarik suara Gen Z telah dilakukan oleh calon kepaa daerah. Misalnya saja yang dilakukan oleh pasangan calon bupati dan wakil bupati Luwu Utara, Suaib mansur-Triyono Kusnan. Melalui gerakan G3N SMART, mereka menggalang para Gen Z untuk ikut berpartisipasi pada perhelatan pilkada 2024.
Hal serupa juga dilakukan oleh calon kepala daerah di tempat lain. Begitu juga yang dilakukan oleh KPU, dalam berbagai sosialisasi. KPU memberikan sosialisasi berupa informasi seputar pemilu, hak dan kewajiban pemilih, serta pentingnya memilih pemimpin yang tepat. KPU juga membuat duta-duta politik di kalangan Gen Z agar informasi dan wawasan politik dapat sampai pada mereka.
Suara Gen Z dan aktivitas politik bukan hanya sekadar memilih dan dipilih saja. Jangan sampai Gen Z hanya terjebak janji manis para politikus. Setelah itu, entah akan kemana masa depan negeri ini. Gen Z kemudian sibuk pada urusannya masing-masing. Gen Z tidak peduli terhadap berbagai kebijakan yang ada, padahal banyak kebijakan yang disahkan justru menyengsarakan rakyat
Demokrasi Sistem Kufur
Pemahaman politik hari ini tentu harus dikembalikan pada pemahaman politik yang benar. Pada kenyataanya politik hanyalah sebuah ajang untuk mencari kekuasaaan, melancarkan usaha, memperkuat posisi dan kedudukan. Tidak heran, beberapa kalangan Gen Z memilih untuk tidak terlibat dalam politik yang diidentikkan dengan sesautu yang kotor. Gen Z seharusnya memahami kondisi politik yang terjadi hari ini adalah akibat dari penerapan sistem yang rusak.
Demokrasi yang begitu diagung-agungkan dapat berjalan dengan baik, nyatanya jauh dari harapan. Memang tidak seharusnya menaruh harapan pada politik demokrasi. Sudah terbukti jargon dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat tidak akan pernah terealisasi. Kesejahteraan hanya untuk pemilik uang dan kuasa. Perlu dipahami, batilnya sistem demokrasi karena berasal dari ciptaan manusia yang lemah dan terbatas.
Lalu bagaimana mungkin dapat membuat aturan untuk dirinya dan manusia lainnya?
Gen Z harus melihat lebih mendalam, bahwa persoalan di negeri yang begitu kompleks berasal dari kerusakan sistem. Berkali-kali ganti kepala negara maupun kepala daerah tetapi masalah pun makin runyam. Karena itu yang harus diganti adalah sistemnya yang rusak. Terus menerus berharap pada sistem demokrasi sama saja dengan membiarkan permasalahan terus terjadi.
Politik Islam
Fenomena apolitis di kalangan Gen Z memang sudah menjadi hal biasa. Perhelatan akbar pemungutan suara lima tahun sekali sudah sering kita saksikan. Pemahaman bahwa politik itu kotor menjadi hal yang wajar. Para politikus memang hanya muncul untuk mencari suara, sementara kebijakan yang dibuat bukan untuk kepentingan rakyat.