Lihat ke Halaman Asli

Musdhalifah

Mahasiswi

Revitalisasi Pendidikan Pesantren: Upaya Preventif Terhadap Kekerasan Seksual dan Penganiayaan Santri

Diperbarui: 4 September 2024   21:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi | Asrama Al-Hikmah PP Wahid Hasyim

Pesantren, salah satu  Lembaga Pendidikan tertua  di Indonesia, memiliki peranan yang sangat penting dalam pembentukan karakter dan spiritual generasi muda. Sejak dahulu, pesantren merupakan Lembaga Pendidikan yang menjadi pusat pembelajaran agama islam dan pengembangan karakter yang memiliki kontribusi cukup besar terhadap pembentukan moral masyarakat. Namun, seiring perkembangan zaman yang semakin pesat dan kompleks, pesantren memiliki tatangan baru yang mendorong adanya revitalisasi dalam berbagai aspek, salah satunya adalah preventif kekerasan seksual dan penganiayaan di lingkungan pesantren.

Kekerasan seksual dan penganiyaan di lingkungan pesantren merupakan isu yang sangat sensitif dan kompleks. Kasus-kasus seperti ini, jika dibandingkan dengan total jumlah santri mungkin relatif kecil, akan tetapi kasus seperti ini telah mencoreng citra pesantren dan menimbulkan kekhawatiran di kalangan orang tua dan Masyarakat luas. Adanya kasus seperti ini diakibatkan adanya celah pada sistem pengawasan dan perlindungan di pesantren. Jika ini tidak segera di tangani dapat merusak kepercayaan Masyarakat terhadap Lembaga Pendidikan Pesantren.

Revitalisasi Pendidikan di era Modern ini menjadi semakin penting terutama menghadapi isu-isu kontemporer seperti kekerasan seksual dan penganiayaan santri.  Beberapa tahun terakhir ini, berita maraknya kasus kekerasan seksual dan penganaiyaan santri di sejumlah pesantren mencuat. Efeknya tidak hanya berpengaruh pada citra Pendidikan Pesantren, akan tetapi berpengaruh pada kondisi psikis, fisik, sosial dan pendidikan santri korban kekerasan seksual dan penganiyaan. Dampak jangka Panjang yang serius pada korban terutama santri masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan adalah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) yakni kondisi mental seseorang yang diakibatkan kejadian traumatis seperti pelecehan dan kekerasan fisik.  Parahnya, masih banyak korban kekerasan seksual memilih untuk bungkam atas apa yang dialami, karena stigma sosial yang diterima korban kekerasan seksual. Ketidakmampuan korban untuk melakukan pelaporan sering kali disebabkan pelaku memiliki otoritas terhadap santri. Otoritas yang dimiliki memaksa dan memanipulasi korban serta melakukan tindakan sewenang-wenang.  Keadaan ini menjadikan Revitalisasi Pendidikan Pesantren tidak hanya mencakup perubahan kurikulum dan metode pembelajaran, akan tetapi mencakup pelatihan tenaga pendidik, membina komunikasi, dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan. Dengan demikian, lingkungan pesantren menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi santri yang menimba ilmu dan mengembangan diri.

Pendekatan holistik pada revitalisasi ini harus melibatkan berbagai pihak termasuk pemerintah, organisasi masyarakat, para ulama dan pengelola pesantren. Adanya kolaborasi ini diharapkan dapat memberikan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan, sehingga pesantren menjadi dapat terus berfungsi sebagai Lembaga Pendidikan  yang mampu mencetak generasi yang berakhlak dan berkarakter. Upaya ini bertujuan untuk memastikan bahwa  pesantren tetap relevan dan efektif memberikan Pendidikan yang berkualitas serta melindungi santri dari berbagai ancaman seperti kekerasan seksual dan penganiayaan.

Kurikulum yang Komprehensif 

Kunci pertama dalam Revitalisasi Pendidikan Pesantren adalah membuat kurikulum yang komprehensif. Artinya kurikulum ini diintegrasikan ke dalam aspek Pendidikan agama yang sudah ada dengan menekankan ajaran-ajaran agama yang menjujung tinggi rasa hormat, martabat dan perlindungan terhadap hak-hak individu. Ini dapat dilakukan dengan memasukkan materi Pendidikan kekerasan seksual dan penganiayaan ke dalam kurikulum pesantren. Langkah ini merupakan hal penting untuk menciptakan lingkungan pesantren yang aman, serta memberikan edukasi kepada santri pentingnya memahami isu-isu yang relevan dengan kehidupan mereka. Edukasi ini bisa dimasukkan ke dalam kurikulum seperti Pendidikan Akhlak yang menekankan pentingnya moral dan etika dalam interaksi sosial, seperti bagaimana islam memandang perlindungan terhadap martabat manusia.

Pendidikan Akhlak sendiri merupakan aspek yang sangat fundamental dalam Pendidikan Pesantren, salah satunya yang sangat perlu di tekankan adalah perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Perlindungan harkat dan martabat manusia atau sering dikenal dengan Hak Asasi Manusia di dalam ajaran islam memiliki dasar yang kuat dan integral didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, penghormatan dan perlindungan terhadap martabat santri. Ajaran islam menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak-hak yang harus dihormati dan dilindungi. Terdapat 2 Prinsip dasar Hak Asasi Manusia dalam islam, Pertama menjaga martabat manusia yang dijelaskan dalam QS. Al Isra': 70  bahwa pentingnya martabat manusia dan mensyukuri berbagai kelebihan serta nikmat yang telah allah berikan. 

Pada ayat ini dijelaskan bahwa manusia memiliki kedudukan istimewa dan tanggung jawab  besar untuk menggunakan nikmat tersebut dengan bijak dan adil. Penghormatan terhadap martabat manusia dan perlindungan hak asasi manusia merupakan prinsip fundamental yang harus dijunjung tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, keadilan dan kesetaraan. Prinsip keadilan (al'adl) dan kesetaraan (al-musawah) sangat ditekankan, maksudnya setiap orang tanpa memandang ras, agama atau jenis kelamin mereka, berhak mendapatkan perlakuan adil. Prinsip ini jika diimplementasikan dalam lingkungan pesantren adalah berbagai latar belakang santri dari berbagai daerah terkadang sering menimbulkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan terjadi. 

Maka, penting untuk membangun kesadaran khususnya pengasuh, guru dan yang memiliki otoritas untuk memahami pentingnya kaadilan dan kesetaraan di lingkungan pesantren. Jika keadailan dan kesetaraan ini dapat difahami dengan baik, ini sudah menunjukkan keberhasilan pesantren menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif. Lingkungan yang aman dan kondusif akan menunjang keberhasilan santri dalam menuntut ilmu dan mengeksplor pengetahuan dan pengalaman yang diajarakan di lingkungan pesantren. Meskipun keadilan dan kesetaraan ini bukan satu-satunya  priventif kekerasan seksual dan penganiayaan di lingkungan pesantren, akan tetapi cara ini sebagai pondasi untuk dapat membangun alternatif lainnya.

Edukasi bagi pemangku Otoritas 

Edukasi ini dapat berupa pelatihan dan dukungan bagi para guru dan staf untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual dan penganiyaan di lingkungan pesantren. Pertama Guru atau staf harus menerima pelatihan khusus untuk mengenali tanda-tanda pelecehan. Pengenalan tanda-tanda awal peting dilakukan untuk mengidentifikasi situasi yang berpotensi mengerah pada kekerasaan dan penganiyaan. Setelah mengenal tanda-tanda, guru dan staf diberikan pemahaman tentang prosedur melaporkan kasus kekerasan seksual untuk menangani kasus tersebut agar tidak berkelanjutan. Di dalam pelatihan perlu adanya sensitivitas terhadap korban yakni cara mendekati dan berinteraksi dengan korban kekerasan seksual atau penganiyaan secara sensitif.

 Hal terpenting yang tidak boleh dilupakan sebagai guru, staf atau yang memiliki otoritas adalah mampu menghormati privasi mereka. Ini merupakan etika yang harus ditanamkan untuk mengatasi tindakan-tindakan kekerasan lainnya. Kedua, Dukungan emosional dan psikologis meliputi pelatihan keterampilan mendengarkan. Cara ini perlu di miliki oleh guru dan staf untuk menjadi pendengar yang baik bagi santri yang sedang mengalami kekerasan seksual dan penganiyaan. Ini termasuk mendengarkan dengan empati dan memberikan dukungan yang diperlukan, bukan malah menjustifikasi korban. Terkadang sebagai guru sering menjustifikasi santri yang sedang mengalami kekerasan seksual maupun penganaiyaan tanpa mengetahui latar belakang yang sebenarnya. Maka selain memberikan empati, guru atau staf mampu bekerjasama dengan pihak eksternal seperti konselor dan psikologi untuk membantu memulihkan emosional dan psikologi korban. 

Ketiga,  Advokasi dan Pendidikan Masyarakat, ini meliputi edukasi kepada orang tua dan santri tentang pentingnya melaporkan dan mencegah kekerasan seksual dan penganiyaan. Akan tetapi hal ini tidaklah mudah, ada beberapa yang memilih untuk diam dan tidak melaporkan. Hal ini sebabkan karena mereka tidak memiliki keberanian dan takut jika terdapat ancaman dari pihak pesantren. Jika hal ini terjadi, pihak orang tua dan santri mendapatkan tekanan dari para pendidik pesantren, maka cara yang perlu dilakukan adalah dengan meminta bantuan kepada yang berwenang seperti pekerja sosial yang berprofesi membantu individu dan masyarakat yang membutuhkan pertolongan.Keempat Evaluasi dan perbaikan berkelanjutan. Evaluasi ini dilakukan untuk melihat seberapa efektif pendekatan yang dilakukan untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dan penganiayaan di lingkungan pesantren. Adanya pelatihan yang diberikan kepada guru dan staf pesantren diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang aman serta menjaga nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan islam terkait dengan perlindungan terhadap harkat martabat manusia.

Komunikasi Terbuka 

Menciptakan ruang yang aman bagi santri dengan adanya komunikasi terbuka untuk menyuarakan keprihatinan mereka. Oleh karenanya pesantren harus mampu membuat mekanisme pelaporan rahasia yang memudahkan santri untuk melaporkan insiden kekerasan seksual dan penganiyaan tanpa ada rasa takut dan pembalasan. Mekanisme pelaporan ini harus mudah diakses dan menyediakan layanan pendukung seperti konseling dan bantuan hukum. Upaya ini dapat menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung santri untuk dapat menyuarakan adanya kekerasan seksual maupun penganiayaan di lingungan Pondok Pesantren. Selain tindakan pencegahan diatas, ada satu hal yang tidak kalah penting, yakni menetapkan prosedur displiner yang meminta pertanggungjawaban pelaku atas tindakan mereka. Disini pesantren harus memiliki kebijakan yang jelas untuk menyelidiki dan menangani kekerasan seksual dan penganiyaan. Pelaku harus menerima konsekuensi yang sepadan, termasuk tindakan hukum serta memastikan keadilan bagi para korban dan mencegah insiden di masa yang akan datang.

Agar dapat mendukung terrealisasinya Revitalisasi Pendidikan di lingkungan pesantren perlu adanya kolaborasi dengan Lembaga Pemerintah dan Organisasi Masyarakat Sipil. Para pemangku kepentingan ini harus bekerja sama untuk mengembangkan dan mengimplementasikan program-program komprehensif yang menangani masalah ini secara holistik. Kolaborasi ini dapat dilakukan dengan adanya kampanye kesadaran dan menyediakan sumber daya untuk mendukung pesantren dalam menciptakan linkungan pesantren yang aman dan inklusif.

Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Revitalisasi Pendidikan untuk mencegah kekerasan seksual dan penganiyaan diperlukan pendekatan dari berbagai segi. Adanya kurikulum yang komprehensif, memberikan pelatihan, adanya komunikasi yang terbuka, menetapkan prosedur displinerpesantren dapat menciptakan lingkungan yan aman dan inklusif serta pesantren mampu berkolaborasi dengan lembaga-lembaga eksternal untuk mengimplementasikan langkah-langkah yang dilakukan dapat berjalan efektif. Melalui upaya ini pesantren dapat memenuhi perannya dalam menyediakan Pendidikan yang berkualitas sekaligus memastikan keselamatan dan kesejahteraan para santri yang mukim.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline