Lihat ke Halaman Asli

musbahaeri saleh

Pengawas di Kemenag Kab. Bulukumba

Insersi Nilai Tawassuth dalam Pendidikan Karakter untuk Menguatkan Islam Rahmatan lil Alamin

Diperbarui: 22 Oktober 2024   17:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Virus Covid-19 yang muncul di tahun 2019 dan dinyatakan mewabah secara global pada tahun 2020 telah menyebabkan terjadinya lost learning, yaitu suatu keadaan di mana siswa kehilangan kesempatan yang baik untuk berinteraksi langsung dengan guru dalam proses pembelajaran. Pembelajaran dilakukan secara daring sehingga mereka tertinggal dari segi konten materi disebabkan kendala
jaringan internet dan juga terhambat pada proses pembinaan karakter. Siswa memiliki persepsi bahwa di masa pandemi Covid-19 mereka tidak bersekolah sehingga banyak di antara mereka mencari kegiatan lain untuk mengisi kekosongan waktu, misalnya membantu pekerjaan orang tua atau mencari pekerjaan sendiri sehingga tidak lagi sempat mengikuti pembelajaran daring. Bahkan ada yang menghabiskan waktu bermain game online yang tentu saja bisa berakibat buruk bagi kesehatan fisik maupun mental.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, pun memberlakukan Kurikulum Merdeka untuk mengatasi lost learning dengan mengutamakan materi-materi yang substantif untuk mengejar katertinggalan dan menyediakan kegiatan kokurikuler berupa Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) untuk pembentukan karakter siswa. P5 lebih mengkhusus pada penguatan karakter siswa yang menjadi jati diri bangsa Indonesia yang merupakan warisan leluhur bangsa yang tertuang dalam Pancasila yaitu: 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia; 2) berkebinekaan global; 3) bergotong royong; 4) mandiri; 5) bernalar kritis; dan 6) kreatif.  

Dalam kondisi bangsa Indonesia yang multikultur dan banyaknya aliran keagamaan dirasa perlu mengkombinasikan nilai-nilai Pancasila dengan salah satu nilai moderasi beragama yaitu tawassuth dalam pendidikan karakter. Tawassuth adalah nilai moderasi beragama yang paling dengan dekat dengan kata “moderasi”. Tawassuth berarti pertengahan atau mengambil jalan tengah. Masih lekat dalam ingatan kita rangkaian peristiwa anarkis dan radikal berupa bom bunuh diri atas nama agama. Yang terbesar adalah peristiwa Bom Bali pertama tahun 2002 yang menewaskan lebih kurang 300 orang dari 22  negara dan melukai ratusan orang.
Menyusul Bom Bali 2 tahun 2005 yang meskipun korbannya tidak sebesar yang  pertama tetapi dampaknya secara psikis terhadap keluarga korban dirasakan begitu mendalam.

Berdasarkan data kejadian teror dari  https://database.cds.or.id/ bahwa sebagian dari narapidana terorisme masih usia sekolah (SMA). Salah satu kasus yang membuat kita miris adalah peristiwa bom bunuh diri di Mapolsek Cirebon di saat jamaah shalat Jumat dan pelakunya adalah seorang pemuda bernama M. Syarif. Rupanya Hal ini dilakukan akibat hipnosis sebuah kelompok puritan bahwa hanya ajarannya saja yang benar, selain yang mengikuti ajarannya semua dianggap kafir dan halal darahnya. 

Berdasarkan kondisi tersebut penulis mencoba menawarkan suatu konsep insersi nilai Tawassuth dalam pendidikan karakter dengan harapan bahwa nilai tersebut akan terintegrasi dengan nilai-nilai Pancasila yang akan menguatkan konsep Islam rahmatan lil alamin. Dalam nilai-nilai Pancasila yang dijabarkan dalam P5 sebenarnya sudah ada pengembangan karakter berakhlak mulia namun
menurut penulis masih perlu diperkuat lagi secara spesifik sesuai dengan kondisi bangsa saat ini yang masih dibayangi oleh gerakan-gerakan radikal dengan aksi teror.

Dengan konsep ini diharapkan terbentuknya karakter yang bersumber dari nilai Tawassuth yaitu sikap tengah-tengah atau moderat, sebuah sikap yang tidak memihak ke kiri dan ke kanan, suatu sikap yang dapat mengantar manusia berlaku adil. Dengan dimilikinya karakter moderat maka dengan sendirinya akan menguatkan konsep Islam rahmatan lil alamin, suatu kondisi di mana agama Islam
menjadi pelopor terwujudnya kedamaian, kelembutan, dan menjadi solusi untuk dunia. Jadi, generasi muda Indonesia tidak hanya mampu menjadi pelopor perdamaian di tingkat lokal tetapi juga secara global mampu memberi solusi atas permasalahan dunia, dan bukan hanya di kalangan umat Islam sendiri tetapi kepada semua pemeluk agama tanpa terkecuali.

Nilai Tawassuth bersumber dari Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 143:
 
Artinya: “dan demikian Kami menjadikan kamu, ummatan wasathan agar kamu menjadi saksi (patron) atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi (patron) atas perbuatan kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblat kamu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (dalam dunia nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kamu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada Manusia.”

Konsep Tawassuth diambil dari kata “Ummatan Wasathan”. Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa ummatan wasathan artinya umat pilihan yang berlaku adil.  Dalam Tafsir Al-Mishbah disebutkan bahwa ada keterkaitan antara kata “washatan” dengan penentuan arah kiblat. Wasathan yang berarti tengahtengah dan kiblat posisinya di tengah. Hal itu menunjukkan bahwa suatu benda
yang berada di tengah dapat dilihat dari segala penjuru dan sebaliknya seseorang yang berada di tengah dapat melihat ke segala penjuru arah. Artinya, sesorang yang berada di tengah dapat dilihat oleh siapa pun dalam penjuru yanng berbeda, dan ketika itu pula dapat menjadi panutan bagi semua di mana pun. Dan ketika berada di tengah dapat menyaksikan dengan baik seluruh persoalan dengan baik sehingga mampu berlaku adil untuk semua.
 
Sebuah ilustrasi digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuat riwayat bahwa ada tiga orang yang mempertanyakan ibadah Nabi SAW kepada istri-istrinya. Setelah digambarkan tentang ibadah Nabi SAW, mereka pun menimpali dengan pernyataan yang berbeda tetapi dengan konsep yang sama. Ada yang ingin shalat malam selama-lamanya, ada yang ingin puasa terus-menerus, dan ada yang
tidak akan menikah. Ketiganya ingin ibadahnya “lebih” dari ibadah Nabi SAW.  Setelah Nabi mendengar hal tersebut lalu Nabi bersabda kepada mereka: ““Benarkah kalian yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allâh!  Sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allâh dan paling taqwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku juga berbuka (tidak puasa), aku shalat (malam) dan aku juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.”

 Dari situ jelaslah konsep tawassuth dari segi pelaksanaan ibadah adalah bersikap sedang-sedang dalam melaksanakan ritual ibadah. Melaksanakan ibadah, khususnya ibadah magdah (ibadah yang sudah ditetapkan syarat dan rukunnya), dijanji dengan ganjaran pahala/kebaikan yang besar tetapi juga harus tetap memperhatikan kemampuan seseorang dalam melaksanakannya. Itulah sebabnya
ada rukhsah dalam pelaksanaan ibadah, yaitu keringanan yang diberikan karena adanya alasan yang bisa dibenarkan. Dan hal itu dapat diterapkan di semua sendisendi kehidupan. Misalnya, sebagai ASN yang punya kewajiban yang sudah diatur dalam  regulasi tentang kewajiban jam kerja 37,5 jam per pekan tetapi tetap diberikan hak cuti karena adanya kepentingan tertentu yang tidak bisa dihindari, misalnya melahirkan, sakit, dan lain-lain. Apabila seorang ASN melaksanakan tugasnya melebih jam kerja wajib maka pemerintah juga harus memberikan kompensasi berupa gaji lembur. Seorang pimpinan yang bersikap ekstrim dengan tidak memberi cuti kepada bawahannya maka boleh dikata dia menyalahi nilai-nilai Tawassuth.

Dalam ilustrasi lain tentang nilai Tawassuth adalah peristiwa perang Shiffin ketika Ali ra. memutuskan untuk menerima tawaran pasukan Muawiyah untuk berdamai. Hal itu membuat kecewa sebagian pendukung Ali ra. dan membelot dari Ali sekaligus memusuhi Muawiyah, golongan ini disebut Khawarij. Mereka menganggap keduanya (Ali dan Muawiyah) adalah kafir karena tidak mau melaksanakan hukum sesuai tuntunan Al-Quran.  Sehingga Ali berkata: “Kalimat la hukma illa Allah adalah benar tetapi dimaksudkan (oleh khawarij) untuk kebatilan”. Sehingga dalam riwayat disebutkan bahwa Ali terbunuh oleh pihak
Khawarij. Ini menunjukkan bahayanya memiliki sikap ekstrim dalam memahami
 
teks agama (Al-Quran dan Hadits) karena dapat mengantarkan seseorang bersikap anarkis.  Kondisi-kondisi seperti tersebut di atas sepertinya masih terus berlangsung hingga saat ini dengan cara yang berbeda. Seperti gerakan-gerakan takfiri, yaitu  suatu pemahaman beragama, khususnya dalam Islam, yang dengan sangat mudah mengafirkan sesamanya muslim dengan berlandaskan dalil dari Al-Quran dan Hadits. Begitu juga sikap menyalahkan adat atau budaya-budaya yang menjadi kearifan lokal bangsa Indonesia dengan alasan bertentangan dengan ajaran AlQuran dan Sunnah Nabi SAW. Perilaku ekstrim seperti ini jika dibiarkan akan
menjadi biang timbulnya perpecahan bangsa. Maka untuk menghadirkan Islam  rahmatan lil alamin di Indonesia melalui pendidikan karakter dengan menginsersi nilai Tawassuth adalah sesuatu hal yang urgen untuk saat ini.

Pendidikan Karakter, yang secara umum bertujuan untuk membantu manusia menjadi manusia yang cerdas dan pintar (smart) dan menjadi baik (good), yang sudah dicanangkan pemerintah perlu menjadi wahana yang tepat untuk menginsersi nilai Tawassut. Insersi nilai Tawassuth dalam pendidikan karakter dapat diterapkan melalui kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.  Dalam kegiatan intrakurikuler bisa diterapkan dengan pembelajaran dengan pendekatan yang dicontohkan dalam Al-Qur’an yaitu pendekatan histori dan analogi. Misalnya, dengan pendekatan hostori guru bisa menceritakan atau  menampilkan kisah sikap moderat Nabi SAW ketika ditunjuk untuk memimpin peletakan Hajar Aswad di Ka’bah dan kisah lainnya yang relevan. Dengan pendekatan analogi, misalnya guru bisa menyampaikan pentingnya persatuan dan kesatuan dengan perumpamaan yang relevan. Dalam kegiatan kokurikuler, yang saat ini dilakukan dalam kegiatan P5,  guru bisa menginsersi nilai Tawassuth dengan membuat projek yang berbasis  kearifan lokal yang memungkinkan untuk diinsersi dengan nilai Tawassuth. Misalnya dari segi konten pembelajaran, Projek “Mengenal Sosok Penyebar Islam di Bulukumba”, projek ini bertujuan menanamkan sikap moderat sebagaimana yang ditampilkan oleh Nurdin Ariyani Dato’ Tiro. Contoh dari segi proses, misalnya  projek “Pemanfaatan Botol Air Mineral Bekas untuk Pembuatan Hiasan Dinding”, projek ini bertujuan untuk menanamkan sikap Tawassuth atau moderat selama
proses pengerjaan projek yaitu bahwa semua ciptaan Tuhan di alam ini tidak ada yang sia-sia, semua ada manfaatnya masing-masing sehingga kita tidak perlu terlalu ekstrim dalam memanfaatkan benda-benda milik kita ataupun dalam memusnahkan
atau membuangnya. Jika memang masih bisa digunakan maka manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya, sebaliknya jika memang sudah tidak bisa kita digunakan maka bisa jadi ada orang lain yang bisa memanfaatkannya. Dari proses tersebut akan terwujudlah sikap hemat yang merupakan pertengahan (Tawassuth) antara boros dan kikir. Begitu pun dalam kegiatan ekstrakurikuler guru memfasilitasi siswa untuk berkegiatan yang memuat penanaman nilai-nilai Tawassuth. Misalnya membuat kegiatan “Peringatan Maulid Nabi SAW.” untuk meneladani sikap tawassuth yang ditampilkan oleh Rasulullah SAW. Bisa pula melaksanakan kegiatan “Temu Moderasi Beragama” yang melibatkan beberapa penganut agama dan organisasi keagamaan untuk menjalin kebersamaan, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang relevan. Bisa pula Jadi, sangat relevan jika nilai Tawassuth ini diinsersi dalam upaya
penanaman karakter melalui proses pendidikan di sekolah. Penananam karakter Tawassuth/moderat akan membentuk sikap-sikap pertengahan pada diri siswa, misalnya bersikap moderat dalam beribadah dan tidak menyalahkan tatacara ibadah orang lain (tidak ekstrim kanan dan kiri), bersikap hemat (tidak boros dan kikir), bersikap adil dalam mengambil keputusan (tidak berat sebelah), tetap hidup dengan status sebagai manusia yang memiliki akal dan nafsu (tidak sebagai malaikat ataupun binatang), dan semua sikap pertengahan lainnya yang lahir dari nilai Tawassuth. Semoga konsep ini bisa diterapkan dalam pendidikan karakter demi menguatkan Islam rahmatan lil alamin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline