Lihat ke Halaman Asli

Jangan Melupakan Sejarah

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belum lama ini Indo Barometer salah satu kelembagaan surve nasional mengumumkan Hasil survey Indo Barometer yang mendapati mayoritas publik memfavoritkan Orde Baru dan mantan Presiden Soeharto sebagai tokoh yang di rindukan masyarakat Indonesia.Survei yang dilakukan Indo Barometer dipublikasikan pada Minggu (15/5/2011). Direktur Eksekutif Indo Barometer menyampaikan, sebesar 40,9 persen responden mempersepsikan bahwa Orde Baru lebih baik dibandingkan dengan Orde Lama dan Orde Reformasi. Hanya setengahnya, atau 22,8 persen, responden yang mengatakan bahwa Orde Reformasi lebih baik dibandingkan dengan periode lainnya. Dari 1.200 responden yang dilibatkan dalam survei tersebut, hanya 41,2 persen yang mengaku puas dengan kinerja SBY-Boediono di bidang perekonomian. Sebanyak 55,8 persen responden mengaku tak puas, dan 3,1 persen lainnya memilih tak menjawab.
Dari hasil survey Indo Barometer, sebuah Lembaga Survey Nasional yang dipimpin oleh M.Qodari, sebanyak 36,5 persen responden (dari 1200 responden) memilih almarhum mantan Presiden Soeharto sebagai presiden yang paling disukai. Selanjutnya, 20,9 persen memilih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 9,8 persen memilih almarhum mantan Presiden Soekarno, 9,2 persen memilih mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, 4,4 persen memilih B.J. Habibie, 4,3 persen memilih almarhum mantan Presiden Abdurrahman Wahid. Menurut Qodari, survey itu menggunakan metode multistage random sampling untuk menghasilkan responden yang mewakili seluruh populasi publik dewasa Indonesia. yang melibatkan 1.200 responden secara nasional dan dilakukan pada tanggal 25 April-4 Mei 2011 ini menunjukkan, masyarakat yang tinggal di perkotaan lebih banyak yang mempersepsikan bahwa Orba lebih baik dibandingkan periode kepemimpinan lainnya, yaitu sebanyak 47,7 persen.
Angka ini lebih tinggi 12 persen jika dibandingkan dengan persentase masyarakat pedesaan yang mempersepsikan Orba lebih baik, yaitu 35,7 persen. Sedangkan untuk bidang politik, 33,3 persen responden mempersepsikan Orba lebih baik. Sementara itu, hanya 29,6 persen responden yang mempersepsikan Orde Reformasi lebih baik. Di bidang keamanan, sebanyak 53,7 persen responden mengatakan, Orba lebih baik. Hanya 20,6 persen responden yang menganggap Orde Reformasi lebih baik. Sementara itu, di bidang hukum, 27,6 persen menganggap Orba lebih baik. Sementara itu, 34,3 persen responden menganggap Orde Reformasi lebih baik. Hasil survey yang di lakukan oleh M.Qudari menjadi sorotan masyarakat Indonesia, setidaknya mempertanyakan apa yang di hasilkan dari hasil survey dan kwalitas akan hasil survey tersebut.
Kemunculan hasil survey yang di lakukan oleh Indo Barometer hampir sejalan dengan adanya niatan Tommy Soeharto yang berusaha kembali ke ranah politik dalam negeri. Belum lama ini Partai Nasional Republik (Nasrep) yang diprakarsai  Tommy Soeharto terbentuk, kemunculan partai ini jika dilihat dari keberadaanya dapat dinilai sebagai wadah bagi trah Cendana untuk mewujudkan mimpinya kembali berkuasa di Tanah Air. Nama Tommy yang digadang-gadang akan menjadi capres dari parpol itu pun menjadi indikasinya. Kembalinya keluarga Cendana yang berharap ingin kembali berkuasa, melalui Tommy Soeharto sebelumnya pernah santer ada dalam kancah politik nasional. Tommy Soeharto pernah bergerilya lewat Golkar dan Hanura. Di Golkar, pria bernama lengkap Hutomo Mandala Putra itu pernah bersaing dalam Munas Golkar dan perebutan kursi Ketua MKGR yang akhirnya dimenangkan oleh Priyo Budi Santoso. Sementara di Hanura, Tommy sempat dikabarkan akan diusung sebagai capres partai yang didirikan oleh Wiranto itu. Namanya pun sempat diprediksi akan keluar sebagai wakil ketua umum saat partai itu menyelenggarakan Munas I Hanura di Surabaya, Jawa Timur pada Februari 2010 lalu.

Sejarah Kelam Dan Kans Cendana Pada Bangsa
Masih belum hilang ingatan kita atas kekejaman Rezim Orba yang di pimpin oleh Soeharto, saat pemimpin Rezim tersebut memberangus setiap kritikan yang tertuju kepadanya. Kebesaran Orba yang tertata di atas tumpukan mayat orang-orang yang dituduh terlibat G30S atau simpatisan PKI dan keluarganya mendapat perlakuan diskriminasi. Dalam perjalanannya Orba juga meninggalkan banyak kasus HAM yang disertai dengan pembantaian dan penghilangan secara paksa seolah-olah juga telah kabur dan dilupakan begitu saja.Sejarah kekejaman Rezim Orde Baru juga masih melekat eret pada masyarakat Aceh dan Papua, sejarah kelam yang membuat dua wilayah tersebut selama bertahun tahun di hantui rasa takut akibat oprasi militer yang di terapkan oleh Soeharto. Pembantaian manusia saat berlangsungnya oprasi DOM di wilayah tersebut di beritakan pada masyarakat Indonesia bahwa dua wilayah tersebut berusaha melakukan pembrontakan. Sedangkan cerita yang sebenarnya masyarakat Aceh dan Papua berharap akan sebuah keadilan atas pemberlakuan kesejahteraan yang sama.
Dalam pemberitaan di beberapa media nasional pernah tersiar bahwa sekelompok orang yang mengklaim sebagai korban kekejaman Orde Baru menolak rencana pemerintah memberikan gelar pahlawan kepada mendiang Soeharto. Jika pemerintah tetap memberikan gelar tersebut, itu berarti mereka melegitimasi kesalahan Soeharto semasa berkuasa. Mengutip pernyataan Syamsul Hilal, yang kini duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara, mengatakan, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto merupakan langkah salah. Menjadikan Soeharto pahlawan berarti bangsa ini melegitimasi pelanggaran yang telah Soeharto perbuat, yang penuh dengan darah rakyat. Hal ini bukan masalah dendam, tapi lebih padamasalah rasionalitas politik pemahaman bangsa ini.
Pernyataan akan penolakan Soeharto dilegalkan sebagai pahlawan juga pernah di katakana oleh Ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (Kontras) Sumatera Utara Diah Susilowati beliau mengatakan, dosa Soeharto terlalu banyak. Untuk itu, dia tidak layak menjadi pahlawan. Tragedi politik tahun 1965 merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terbesar Soeharto. Itu ditambah dengan dosa politik pengekangan mahasiswa, tragedi penggusuran rakyat seperti kasus Kedungombo, dan tragedi Mei 1998 yang menewaskan beberapa mahasiswa yang sampai hari ini kasusnya masih belum terselesaikan.
Survey yang dilakukan oleh Indo Barometer telah membuktikan bahwa bangsa ini telah lupa akan sejarah kelam dan ingatannya sendiri. Selain faktor-faktor di atas yag sudah disebutkan, bahwa faktor ekonomi, pendidikan dan kesadaran sebagai sebuah bangsa yang paham akan sejarahnya sendiri telah dihilangkan oleh Orde Baru, dan selama 32 tahun juga masyarakat telah dibentuk sedemikian rupa persepsi da pikirannya sehingga menganggap Orde Baru adalah yang terbaik. Selama 32 tahun juga bagaimana buku-buku sejarah telah banyak mengalami penyimpangan menurut kehendak dan rekayasa penguasa. Maka tidak terlalu heran dan wajib bersedih akan hasil survey tersebut.
Partai politik merupakan salah satu pilar demokrasi. Dalam bahasa Dwight Y King, partai politik merupakan institusi kunci bagi demokrasi. Pemahaman umum dalam pengertian ini adalah yang menjadi syarat utama terbangunnya rezim demokratis itu, tidak akan terselenggara tanpa adanya partai politik. Sayangnya, partai politik yang seyogianya berfungsi sebagai penyalur aspirasi politik, sarana komunikasi dan sosialisasi politik, serta pengelola konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, belakangan ini justru berfungsi sebaliknya. Aspirasi masyarakat malah tersumbat karena afiliasinya terhadap partai politik. Hak berkomunikasi seorang warga masyarakat juga terhambat karena keaktifannya dalam partai politik, dan parahnya lagi, konflik malah semakin menguat dan meluas lantaran suburnya partai politik. Karena berpartai dianggap sebagai keniscayaan berdemokrasi, banyak orang latah berpartai sehingga ketika diadakan penelusuran lebih mendalam terhadap alasan atau tujuan berpartai, tidak ditemukan jawaban yang benar-benar mendukung prasyarat demokrasi.
Hanya sebagian kecil saja yang mengaku berpartai karena keterikatan pada ideologi atau visi politik tertentu. Yang lebih parah, masih ada kalangan yang berpartai karena ikut-ikutan: ikut tradisi orang tua, ikut tokoh panutan, atau bahkan sekedar ikut pacar. Seperti hendak memilih makanan, berpartai hanya  sekadar mengikuti selera yang sangat mungkin berbeda antara pagi, siang, dan malam. Sedangkan terkait dengan partai yang baru di buat oleh Tommy Soeharto bisa diartikan seperti pemaparan sebelumnya. Kegelisahan yang hanya di dasari pada rasa obsesi tidak memiliki kejelasan akan memperburuk pembangunan bangsa ini pada nilai nilai demokrasi. Menjadikan bangsa ini terpuruk dan kembali mundur kebelakang adalah sebuah prilaku yang menyesatkan bangsa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline