Lihat ke Halaman Asli

Penyatuan Kalender Hijriah

Diperbarui: 1 Mei 2017   11:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1409880829432771005

Hari libur Nasional dalam kalender Indonesia dibuat untuk memperingati peristiwa sejarah keagamaan, perjuangan kemerdekaan dan tahun baru. Kalender Nasional yang kini digunakan masih mengacu pada kalender warga dunia pada umumnya yakni kalender Masehi karya tokoh Italia Julius Caesar yang telah mengalami revisi menjadi kalender Gregorian atau sering dikenal juga dengan nama kalender Syamsiah.

Namun tidak semua hari besar keagamaan dalam kalender Masehi memiliki penanggalan yang sama setiap tahunnya. Itu terjadi karena ada yang ketentuannya mengacu pada kalender dengan metode lain seperti kalender Hijriah. Dalam satu tahun kalender Indonesia terdapat beberapa hari besar agama Islam yang membutuhkan penentuan awal bulan Hijriah secara tepat seperti Ibadah Puasa yang dimulai pada 1 Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri pada 1 Syawal dan Hari Raya Idul Adha pada 10 Dzulhijjah. Oleh karena itu kalender Nasional atau kalender Masehi memerlukan konversi tanggal dari kalender Hijriah karena memiliki perbedaan metode.

Peringatan hari besar agama Hindu seperti Nyepi dan agama Kristen seperti Paskah memiliki metode yang hampir sama dengan Hari Raya Islam karena menggunakan metode peredaran Bulan mengelilingi Bumi (lunar), namun pada Hari Raya Islam masih ditambahkan siklus penampakan Hilal untuk meningkatkan keakuratan penentuan awal bulan. Seharusnya penentuan awal bulan ini dilakukan sebelum tahun penerbitan kalender Nasional karena Kementerian Agama bersama Sekretariat Negara harus segera membuat daftar hari libur atau cuti nasional. Untuk mengantisipasi perbedaan pendapat menjelang Hari Raya, Kementerian Agama menetapkan dua hari libur Idul Fitri seperti tahun ini pada tanggal 28 dan 29 Juli 2014.

Proses penentuan awal bulan Hijriah di Indonesia umumnya dikenal dengan nama Hisab dan Rukyat Hilal yang dilaksanakan menjelang bulan Hijriah baru. Hisab adalah perhitungan astronomis dalam menentukan awal bulan Hijriah, sedangkan Rukyat merupakan pengamatan (observasi) Hilal dalam menentukan awal bulan Hijriah. Hisab resmi di Indonesia mengacu pada Hisab haqiqi-kontemporer yang berpedoman pada ufuk Mar’i dengan menggunakan Kriteria MABIMS yakni tinggi hilal minimum 2 0, jarak dari matahari minimum 30, umur bulan dihitung saat ijtimak atau bulan baru dan matahari segaris bujur saat terbenam minimal 8 jam.

Himpunan Astronom Indonesia memiliki standar tunggal yang sama dalam Rukyat Hilal. Awal bulan ditentukan setiap ghurub (maghrib) tanggal 29 bulan Hijriah. Dalam kalender Hijriah, awal bulan dimulai saat matahari terbenam atau ghurub. Jika pada saat ghurub tanggal 29 bulan Hijriah belum teramati adanya bulan baru, maka secara astronomis keesokan harinya masih tanggal 30 di bulan yang masih berlangsung. Jika pada saat ghurub tanggal 29 bulan Hijriah sudah teramati adanya bulan baru namun tinggi hilal negatif maka keesokan harinya masih tanggal 30 di bulan yang masih berlangsung. Jika pada saat ghurub tanggal 29 bulan Hijriah sudah teramati bulan baru dengan tinggi hilal positif maka penentuan awal bulan sudah berdasarkan kriteria awal bulan. Jika memenuhi kriteria maka keesokan harinya sudah tanggal 1 bulan baru. Jika tidak memenuhi, keesokan harinya masih tanggal 30 di bulan yang masih berlangsung.

Alur pelaksanaan pengamatan Hilal di Indonesia diawali dari Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama RIyang mengirimkan surat kepada KanwilKemenag Provinsi agar melaksanakan Rukyat Hilal. Lalu KanwilKemenag Provinsi melaksanakan RukyatHilal di tempat pengamatan yang representatif. Hasil pengamatan dilaporkan ke Tim Penerima hasil pengamatan Hilal Kemenag Pusat untuk disampaikan kepada Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah. Kemudian Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah menyampaikan laporan hasil pengamatan Hilal di 33 titik rukyat seluruh Indonesia kepada Menteri Agama pada Sidang Isbat Awal Ramadhan/Syawal hingga akhirnya Menteri Agama menetapkan tanggal satu Ramadhan/Syawal. Pengamatan khusus di DKI Jakarta oleh Kemenag dilaksanakan di Masjid Al-Musyari’in Basmol Jakarta Barat, Masjid Al-Makmur KlenderJakarta Timur, Seasson City Tower A Lantai 32 Jakarta Barat, Gedung Kanwil Kemenag Jakarta Timur

Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah yang ditandatangani oleh K.H. Ma’ruf Amin (Ketua MUI Komisi Fatwa) & Hasanudin (Sekretaris MUI Komisi Fatwa) pada tanggal 24 Januari 2005 masih menjadi pedoman hingga kini.

Fatwa pertama menyebutkan Penetapan  awal  Ramadhan,  Syawal,  dan Dzulhijjah  dilakukan berdasarkan metoda rukyat dan hisab oleh Pemerintah RI yakni Menteri Agama dan berlaku secara nasional ; Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah ; Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait ; Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan  hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.  Fatwa Kedua berupa Rekomendasi agar Majelis  Ulama Indonesia  mengusahakan  adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, Dzulhijjah untuk dijadikan pedoman  oleh Menteri Agama dengan membahasnya  bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait.

Pertemuan Hisab Rukyat Hilal tahunan dihadiri oleh Kementerian Agama, Muhammadiyah, Nadhlatul Ulama, PERSISI, DDII, Al Mansyuriyah, Obsevatorium Bosscha ITB, LAPAN, BMKG, BIG, Planetarium & Observatorium Jakarta, dan ahli Hisab Rukyat perseorangan untuk menyamakan kriteria Hilal atau Imkanul Rukyat. Dalam  rangka  mempersatukan umat untuk melaksanakan peribadatan khususnya awal Puasa, Idul Fitri dan Idul Adha, pada tahun 1972 dibentuk  Badan Hisab Rukyat (BHR) Departemen  Agama berdasarkan  keputusan Menteri Agama No. 76 tahun 1972.

Pada pertengahan Juni 2014 Muhammadiyah telah menetapkan 1 Ramadhan jatuh pada tanggal 28 Juni 2014 hanya dengan melakukan Hisab. Di sisi lain Nadhlatul Ulama belum menetapkan karena belum melalui proses rukyat Hilal. Fenomena Hisab dan Rukyat di Indonesia seringkali menemukan perbedaan sehingga perlu adanya otoritas tunggal yang menjaga sistem kalender, kriteria tunggal dan memberi batasan wilayah. Seperti contoh kalender Gregorian memiliki otoritas di bawah Paus Gregorian, menggunakan kriteria tunggal berupa tahun kabisat, dan dibatasi wilayah garis tanggal intenasional di Pasifik. Sesungguhnya kalender hijriah yang mapan di Indonesia sangat mungkin diterapkan dengan menjadikan Menteri Agama sebagai otoritas tunggal, kesepakatan melalui perumusan hisab dan rukyat atau ilmu falak sebagai kriteria tunggal secara bersama-sama, serta wilayah hukum Republik Indonesia sebagai batasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline