Konflik yang berlarut-larut antara Israel dan Palestina tidak kunjung tercium akan selesai. Kedua negara masih menjunjung egonya masing-masing, Israel maunya solusi satu negara dan begitu pula dengan Palestina. Mereka juga saling menutup muka dan sulit berkawan satu sama lain. Namun itu hanya desas-desus di tengah tingginya tensi politik.
Lantas bagaimana fakta di lapangan yang terjadi, apakah lebih parah dari apa yang media katakan atau justru sebaliknya, mereka bersikap biasa-biasa saja, seolah-olah tidak ada konflik berarti di antara mereka?
Saya mencoba menjawab dari sebuah video eksperimen dari channel YouTube Jubilee. Channel yang sudah disubscribe lebih dari 6 juta orang ini, sering mengadakan eksperimen survei sosial, politik, dan budaya dari seluruh penjuru dunia.
Nah, salah satu videonya berjudul "Can Israelis and Palestinians See Eye to Eye?" sudah ditonton lebih dari 9 juta orang. Dalam video tersebut tiga pemuda Israel dan tiga pemuda Palestina duduk berhadapan, membahas tentang konflik Israel dan Palestina. Dan jawaban mereka membuat tersentuh siapa saja yang menontonnya.
Baca juga: Kenapa Gencatan Senjata di Korut Berhasil tapi di Palestina Gagal?
Dorit, pemudi Israel berkata bahwa nyatanya negaranya tidak pernah damai, setiap hari dia selalu terancam. Sementara Hannah, pemudi Arab asal Palestina yang tinggal di wilayah Israel merasa bahwa dia kesulitan mencari identitasnya, dia ini sebenarnya siapa.
Salah satu pemuda Palestina bernama Arab Al Amin mengungkapkan bahwa hidupnya dalam penjajahan atau pendudukan sehingga dia dan bangsanya tidak memiliki kekuasaan berarti. Sedangkan pemuda Israel bernama Ran optimis bahwa setiap penduduk Israel baik yang beragama Kristen, Yahudi, dan Islam dapat mendapat hak yang sama di bawah kedaulatan penuh negara Israel.
Pertanyaan pertama, di antara orang yang kalian kenal, adakah korban meninggal akibat konflik tersebut? Dari pertanyaan tersebut, semuanya maju kecuali dua pemudi dari Israel. Hannah, yang juga seorang YouTubers Arab menjelaskan, ayahnya telah dibunuh oleh dua tentara Israel (IDF). Tak cukup sampai situ, IDF juga memukul keluarga Hannah.
Baraa, pemudi Palestina lain yang seorang mahasiswi, menjelaskan temannya dibunuh ketika dirinya berusia 10 tahun. Temannya itu ditembak dengan sniper di kepalanya. Sedangkan Ran, seorang think tank Israel yang dulunya mengabdi sebagai tentara Israel (IDF) menjelaskan, 27 kenalannya terbunuh dalam peristiwa intifadah kedua. Dia bahkan membawa secarik kertas, untuk mengenang mereka.
Arab Al Amin lebih menyayat lagi kisahnya, dia kehilangan adik perempuannya pada 16 Januari 2007 setelah dibunuh oleh tentara Israel. Waktu itu adik perempuannya baru berusia 10 tahun.