Evan tak menyangka bahwa dirinya akan dimutasi ke kantor cabang perusahaan di Surabaya Jawa Timur. Sebelum pindah ke Surabaya, Evan berdebat habis-habisan dengan istrinya yang merupakan sosok wanita karir tangguh tak kenal lelah.
Istrinya menolak mentah-mentah usulan dari Evan untuk pindah bareng ke Surabaya. Tapi apa boleh buat, istrinya masih ingin terus mengejar posisi keren dalam karirnya di perusahaan besar di Jakarta.
Di sisi lain, istri Evan juga tidak ingin tinggal jauh dari orang tuanya di Jakarta. Ia tidak bisa meninggalkan orang tuanya yang sudah sepuh.
"Kita kan bisa pulang pergi pas weekend. Kita masih bisa menemui kedua orang tuamu di Jakarta setiap libur akhir pekan. Gajiku cukup kok untuk itu," pinta Evan mencoba membujuknya sekali lagi.
Istri Evan sangat kebal pendiriannya. Ia tak mampu digoyahkan oleh kritik atau saran dari suaminya itu.
"Pokoknya sekali tidak mau, aku tetap tidak mau. TITIK. Kamu tidak mikirin masa depan karirku? Aku tidak mau berakhir di dapur. Aku ingin terus berkarir agar aku bisa berguna. Aku mau saja jadi ibu rumah tangga tapi itu kalau kita punya anak. Nah aku saja tidak hamil-hamil."
"Bagaimana mau punya anak, kamu saja suka pulang larut malam. Kapan jadinya itu anak." Evan kesal sampai membanting piring.
Istrinya tidak takut malah membalasnya dengan membanting piring. Adu piring terjadi membentuk sebuah irama nyaring tak mengenakan telinga tetangga yang mendengarnya.
Malam itu, Evan pisah ranjang. Sampai Evan membulatkan tekadnya untuk pindah ke Surabaya tanpa didampingi istri ketimbang melepaskan taruhan karirnya.