Kata siapa awardee yang dibiayai pemerintah untuk studi di luar negeri lalu tidak kembali ke Indonesia hanya terjadi di abad 21. Mungkin ini karena efek dari viralnya kasus Veronica Koman dan beberapa awardee beasiswa LPDP lainnya yang tidak kembali ke Indonesia pasca studi.
Veronica Koman pun dituntut oleh LPDP untuk mengembalikan uang senilai ratusan juta yang sudah pemerintah kucurkan hingga VL menyandang gelar master hukum di negeri kanguru.
VL tidak sendiri, ada puluhan awardee LPDP lainnya yang terlanjur betah berlama-lama di negeri orang dengan segala kemudahan dalam mencari pekerjaan. Barangkali pekerjaan adalah alasan mereka memilih menetap di negeri orang.
Padahal jauh sebelum abad 21, ada banyak awardee yang dibiayai oleh Pemri untuk berkuliah di luar negeri namun juga tidak kembali mengabdi untuk negeri pertiwi. Mereka justru bekerja, menikah bahkan sampai meninggal dikuburkan di tanah orang lain.
Tapi awardee di abad 20 ini berbeda dengan awardee di abad 21. Lantas apa bedanya, bukankah mereka sama-sama lari dari tanggung jawab dan mereka pun mengabaikan surat kontrak perjanjian yang menjelaskan bahwa mereka harus kembali mengabdi ke Indonesia setelah studinya selesai.
Beda zaman, beda pula ceritanya. Berikut perbedaanya:
Pertama, awardee di abad 20 yang menimba ilmu dibiayai oleh pemerintah tapi bukan LPDP. LPDP merupakan lembaga yang termasuk baru di Indonesia. LPDP baru dibentuk pada Desember 2011 di bawah naungan Kementerian Keuangan.
Awardee di abad 20 ini bermacam-macam jenisnya, namun yang paling disoroti adalah penerima beasiswa dari pemerintah Soekarno.
Ketika Indonesia belum lama merdeka, Indonesia membutuhkan tenaga ahli untuk pembangunan negeri di segala aspek. Para awardee ini pun dikirim ke beberapa negara tetangga. Ada yang mempelajari teknik, kedokteran, sosial dan budaya, dan cabang ilmu lainnya.
Mereka termasuk mahasiswa ikatan dinas yang nantinya diwajibkan kembali ke Indonesia setelah lulus.