Musik dangdut mengalun dengan keras di telinga. Penyanyi mendengangkan lagu untuk sepasang mempelai yang baru melangsungkan akad pernikahan. Di saat itu pula banyak anak yang sedang berada di rumah, menjalankan ibadah belajar jarak jauhnya.
Anak-anak terganggu dengan suara keras itu tapi mau protes ke mana? Panggung sudah dipasang dan pedagang dadakan sudah membanjiri lokasi acara. Panggung yang berdiri menghalangi separuh jalan desa, ditambah pedagang yang berjejer rapi seperti ular.
Sudah lumrah, konser dangdut di desa menggurita di musim kondangan ini. Sebenarnya musim kondangan ini berlangsung sepanjang libur hari raya Idul Fitri namun karena waktu itu PSBB masih diketatkan maka musim kondangan bergeser ke hari raya Idul Adha.
Mereka berdalih bahwa sekarang sudah new normal. Para perantau pun sudah bisa bolak-balik dengan mudah dari Jakarta ke beberapa daerah di Jawa.
Akhir-akhir ini, hampir tiap hari saya mendengarkan suara musik menggelantung di udara. Kalau sekedar sound system sih oke-oke saja karena saya sedang libur kuliah, sedangkan anak-anak baru memulai belajarnya jadi disayangkan juga sih.
Harusnya si penyelenggara sadar diri, tapi sudahlah, banyak juga yang mendukungnya. Katanya sih buat hiburan selama masa pandemi ini. Padahal di rumah, mereka bisa menyetel musik, apa bedanya.
Sayangnya lagu itu didendangkan secara langsung dengan tatap muka maka sudah tidak oke-oke saja. Masa pun tergoda untuk datang ke lokasi acara. Dan perlu kalian tahu, umumnya konser dangdut di desa ini rawan gelut, banyak pemabuk dan bikin gaduh.
Beberapa tahun silam bahkan ada yang sampai meninggal gegara berantem ketika konser dangdut sedang berlangsung. Tapi beruntungnya konser akhir-akhir ini berjalan damai sentoso meski bikin deg-degan, bagaimana jika Covid-19 merajalela di desa?
Di sisi lain pemerintah masih menerapkan kebijakan PJJ alias daring di tahun ajaran baru ini, di sisi lain konser tatap muka lancar-lancar saja. Konser musik dangdut ini dapat berjalan tanpa ada hambatan.
Saya kurang begitu mengerti, apa ada hukuman bagi si penyelenggara konser? Atau si penyelenggara sudah main belakang? Atau memang konser sudah diperbolehkan sedangkan kegiatan belajar di kelas belum? Entahlah betapa lucunya negeri ini.
Bayangkan saja, pendidikan yang harusnya menjadi pilar utama dalam membangun kemajuan sebuah bangsa malah dinomer duakan. Sekolah keteteran menjalankan PJJ karena tidak semua murid punya ponsel pintar.