Membaca kembali kasus Salim Kancil rasanya membaca kembali perjuangan menegakkan keadilan di desa-desa kecil yang luput dari perhatian pusat.
Bermula dari hancurnya beberapa petak lahan pertanian milik warga Desa Selok Awar-Awar akibat penambangan pasir ilegal. Penambangan tersebut juga membuat jalan desa berlubang karena lalu-lalang kendaraan berat setiap harinya, saluran irigasi pertanian rusak, dan air laut menggenangi areal persawahan salah satunya milik Salim Kancil.
Salim Kancil pun beralih profesi menjadi nelayan demi memenuhi kebutuhan keluarga. Merasa dirugikan, Salim Kancil tidak bisa tinggal diam. Ia membentuk sebuah forum yang dinamai Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar sebagai bentuk protes terhadap penambangan pasir berkedok pembangunan wisata desa.
Nahas nasib Salim Kancil, berjuang menegakkan keadilan malah tewas dikeroyok preman bersama Tosan, rekannya. Sabtu, 26 September 2015 menjadi hari kelam bagi keadilan di negeri ini, Salim Kancil tewas menyisakan tanda tanya sementara Tosan menderita luka-luka.
Sebelum tewas, Salim Kancil sudah melapor kepada Polsek Pasirian atas ancaman dan intimidasi yang ia peroleh. Tak ada tindakan nyata, Salim Kancil kembali melapor kepada Polres Lumajang namun tetap saja tidak ada upaya khusus darinya.
Kejahatan yang turut melibatkan pejabat desa itu pun disorot media nasional bahkan internasional. Tak ingin ada korban lagi, selama proses penyelidikan LPSK hadir melindungi saksi mata yang mengetahui kronologi sebenarnya.
Para saksi dikawal layaknya presiden setiap harinya menuju hari persidangan. LPSK memberikan penginapan khusus yang rahasia terhadap para saksi yang berjumlah 14 orang itu termasuk putra Salim Kancil yang masih kecil. Layanan tersebut sebagai langkah menjamin keamanan agar terhindar dari intimidasi dan ancaman berbagai pihak yang terlibat.
Sayangnya, otak dari pembunuhan berencana tersebut hanya dihukum selama 20 tahun kurungan penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya. Vonis yang dijatuhi kepada Hariyono, mantan Kepala Desa Selok Awar-Awar dan Mat Dasir, ketua preman itu lebih ringan dari Jaksa Penuntut Umum yang menuntut pelaku divonis seumur hidup. Sementara anak buah Mat Dasir hanya dihukum selama 15 tahun kurungan penjara.
Banyak massa tidak setuju dengan vonis hakim tersebut. Apalagi jika melihat Salim Kancil yang dihabisi dengan cara sadis, dibunuh lalu diarak ke balai desa setelah itu dibiarkan tergeletak begitu saja. Aksi damai kerap kali dilakukan agar pelaku dihukum berat namun hasilnya tetap nihil.
Kejadian Salim Kancil tidak boleh terulang kembali. Coba kalau dulu Salim Kancil lapor ke LPSK begitu Polsek Pasirian tidak menanggapinya, kemungkinan besar tidak ada korban melayang sia-sia.
Yang sudah terjadi biarlah terjadi karena memang sudah takdir Tuhan, namun biarkan yang sudah terjadi menjadi pelajaran berharga. Sedia payung sebelum hujan sangat penting dilakukan bukan kalau hujan baru basah-basahan.