Lihat ke Halaman Asli

Satu Jam di Rumah JK (1)

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Berhentilah Jual Tanah Air Ini”

Sore telah habis. Mobil yang kutumpangi bergerak lambat membelah Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Di atas mobil berplat merah, selain saya ada satu orang juru foto Humas, Ketua Karang Taruna dan pula satu Anggota DPRD Kabupaten Luwu yang dipandu Kepala Perwakilan Mess Pemda Luwu menuju rumah mantan Presiden RI, Jusuf Kalla (JK).

Tepatnya di Jalan Brawijaya 6 alamat yang kami tuju. Di situlah tokoh perdamaian Ambon-Poso itu tinggal. Sepanjang perjalanan, meski tak terungkap melalui pembicaraan, saya yakin di kepala kami masing-masing telah tergambar bahwa rumah yang kami tuju itu bukanlah rumah biasa. Di sana sudah pasti dipenuhi para penjaga melebihi penjagaan rumah bupati atau seorang gubernur misalnya. Saya pikir itu wajar. Apalagi dengan jabatan dan ketokohan JK.

Tak butuh waktu lama, hanya sekitar 40 menit saja kami telah tiba. Jakarta yang dikenal macet, malam itu tak kami temui. Mobil pun merapat di ujung bibir kiri jalan yang jaraknya sekitar 15 meter dari pagar rumah. Kutebar pandang mataku pada rumah JK. Sebuah tanaman jenis pisang-pisangan, indah menjulang tinggi menutup setengah pandangan. Ada juga beberapa tanaman palem merah dan cemara udang kokoh berdiri di sampingnya. Tepat di depan pintu pagar, ada beberapa mobil pribadi, motor dan satu sedan polisi.

Cukup lama kami tak bergerak dari tempat itu, karena masih menanti mobil yang membawa Bupati Luwu, Mudzakkar ditemani Humas PT Bukaka Teknik Utama, Muhammad Syafri. “Pak ! Mau ketemu pak JK ya ? Tolong menunggunya di sana,” kata seorang seorang berkaos Brimob yang datang menghampiri. Tanpa menjawab, kami bergerak sesuai perintah. Lagi, kami masih menunggu. Kebetulan di samping pintu pagar rumah JK, ada satu gerobak bakso yang bangkunya telah kosong dari pembeli. Di situlah kami duduk.

Akhirnya penantian kami berakhir. Mobil yang membawa Bupati Luwu yang akrab disebut Cakka (CK) telah datang dan langsung disambut ramah 4 orang penjaga. Tak ada aturan ketat seperti harus mengisi buku tamu ditambah lagi berlakunya jam tunggu. Perkiraanku meleset jauh. Sungguh meleset !

“Silahkan masuk pak,” ucap penjaga seraya membuka pintu lalu menyilahkan kami duduk di ruang tamu di atas sofa sederhana. Tak ada suara. Semua diam.

Sayup-sayup terdengar suara seseorang terdengar lirih dari ruang tengah. Ia sedang berbicara dengan seseorang. Dan kupastikan itu suara JK. Kami masih diam. Tak berselang lama, ia keluar dan langsung mengulurkan tangan menyalami kami satu per satu dengan senyum khasnya. “Sehat-sehat jaki ndik,” sapa JK yang begitu kental nuansa Bugisnya.

Dialog antara JK dan CK pun mengalir. Sebelum membahas soal keinginan perusahaannya PT Bukaka Teknik Utama membangun pabrik di Luwu, mantan Ketua Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) Sulawesi Selatan periode 1985-1997 ini, banyak berbicara tentang bagaimana kondisi rakyat Indonesia, khususnya mereka yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. “Saya tidak mau Sulawesi ini seperti Sumatera yang lahan-lahan pertaniannya hampir sebahagian besar dikuasai asing. Makanya saya tantang semua gubernur di Sulawesi ini untuk bertekad membangun daerahnya tanpa campur tangan asing, Cukup dan berhentilah untuk terus menjual tanah air ini,” tegas JK. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline