Hujan
Di penghujung sore, kemarin. Hujan turun. Deras, sangat deras. Mobil yang membawaku ke kota tak selaju semula. Berkali-kali kulihat sopir menyeka kaca. Pandangnya terganggu. Suara musik era 80-an dari tape mobil, ia matikan. Pun niatku untuk mengajaknya ngobrol lagi, kutunda. Aku takut konsentrasinya buyar. Kuhanya diam sambil telingaku menangkap suara gerutu yang keluar dari mulutnya. Ia jengkel, marah pada hujan.
Aku tak lagi peduli. Peduliku hanya pada hujan. Kulempar pandang menembus riben kaca mobil. Aku membayangkan di luar sana betapa suka citanya tumbuhan juga binatang menyambut hujan. Seolah mendapat penawar kematian dari terjangan kemarau selama 3 bulan yang sudah membuatnya nyaris mati. Toh, aku yakin air sebanyak itu yang tumpah dari langit, sore kemarin, tak semua dihabiskan tumbuhan demi untuk memuaskan kerinduannya pada air. Mereka pakai seperlunya dan tak lupa untuk menyimpannya sebagai cadangan jika sewaktu-waktu harus survive seperti kala menghadapi kemarau.
Kubayangkan pula anak sungai kecil di belakang rumahku yang jika musim hujan tanahnya berlumpur. Tapi karena kemarau, tanah itu retak. Membentuk seperti peta kontur bergaris-garis. Tak ada air setetes pun. Pastilah jika kupulang nanti, pemandangan itu sudah tak ada. Aku kembali bisa menyaksikan anak sungai itu teraliri air, menyaksikan bebek-bebek tetangga berenang riang di sana. Anak sungai itu telah mendapat nafas dari aliran air induknya karena hujan sore ini. Mereka pesta. Pesta air hujan walau masih sedikit.
Tapi bagaimana dengan manusia ? Aku gamang. Pikiranku dirasuki ragu. Aku mulai bertanya ; masih cintahkah hujan yang turun sore kemarin pada manusia ? Tidakkah ia turun hanya karena sayang dan cintanya pada tumbuhan dan binatang saja ? Dua makhluk yang juga membutuhkan air, tanpa pernah mencaci dan mengumpat ketika hujan turun.
Tak jarang bahkan sangat sering kita mengumpat hujan. Kita marah pada hujan, saat anak-anak kita sakit gara-gara mandi hujan. Kita marah pada hujan, karena merasa hujan menjadi penghalang urusan. Kita marah pada hujan sebab motor yang kita pakai kotor lagi, padahal baru saja kita cuci. Kita marah hujan, ketika banjir bandang datang. Kita marah pada hujan, saat tanaman yang kita tanam kering, hujan hanya mengancam dengan mega hitam tanpa pernah mau turun. Ketika sumur kita kering, hujan begitu kita rindukan. Namun saat hujan turun terus menerus, kita marah lagi pada hujan karena air sumur kita keruh.
Duh ! Pantaskah kita marah pada hujan. Pantaskah marah pada sesuatu yang telah memberi kita kehidupan. Hujan adalah berkah. Kitalah yang telah mengubahnya menjadi petaka. Hutan digasak membabi-buta. Hulu disikat, hilir dibabat. Daerah-daerah resapan air kita ganti, sawah-sawah kita tutup dengan bangunan-bangunan beton. Ketika banjir datang, buru-buru kita layangkan tuduhan pada hujan sebagai dalang.
Kupalingkan wajah, kembali lurus menatap ke depan. Tanganku menekan tombol kaca. Terbuka sedikit. Dingin menyergap sementara hidungku menangkap bau aspal yang tersapu hujan. Baunya khas. Kulihat hujan mulai reda. Jalanan basah. Telingaku tak lagi menangkap gerutu sopir pada hujan. Entah esok !
Palopo, 7 November 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H