Lihat ke Halaman Asli

Kamera

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam baru saja tiba. Tas kerja kuletakkan di meja. Isinya kukeluarkan. Sebuah kamera. Tak seperti biasa, kali ini kubiarkan tergolek begitu saja tanpa tertarik memplototi isinya satu per satu. Lelahku mengalahkan itu. Kursi tak kupilih, aku melantai. Punggungku kumanjakan pada tembok, tapi mataku masih terus awas menatap kamera itu.

Ya, kamera itu setiap hari mengisi tas one day pack-ku, yang sering kusandingkan bersama laptop serta sejumlah kabel data. Setiap hari kubawa ke sana kemari. Maklum, aku terikat tugas, bekerja di instansi pemerintah bagian humas. Tugasku adalah juru foto dan pembuat berita. Jadi wajib hukumnya setiap hari kamera itu kubawa.

Sudah tak terhitung berapa banyak wajah kufoto. Mulai dari pejabat hingga tukang babat. Tak bisa pula dihitung berapa banyak gaya yang kubidik. Dari cara terang-terangan hingga hasil jepret curian. Dari gaya asal-asalan hingga hasil tiruan. Bak model. Pun nuansa pemandangan alam, hewan besar-kecil dan beragam objek yang menarik menurutku, tak luput kuabadikan dalam sorotan lensa.

Kuakui, hasil jepretanku tak selalu bagus. Entah itu karena aku mengabaikan komposisi, lalai menempatkan posisi tinggi kamera terhadap mata subjek ataukah sudut pengambilan gambarku yang jelek. Ataukah semua itu sudah kupenuhi, namun hasilnya belum maksimal karena aku mengabaikan lagi format pengambilan gambar yang pas. Lalai menggunakan flash dan tidak fokus. Sering ada foto yang kuanggap bagus dan menarik, tapi tidak bagi mata orang lain.

Ada yang bilang fotografi itu bukanlah matematika. Tidak ada satu pun aturan yang absolut. Namun bagiku, sebelum mencoba melanggar aturan, tentunya harus memahami aturan terlebih dulu. Kan, sangat lucu menurutku ketika hendak melanggar aturan tapi disaat yang sama, kita tidak tahu aturan apa yang akan dilanggar. Melalui pemahaman yang baik terhadap aturan, foto yang dibuat dengan melanggar aturan akan lebih besar peluangnya menjadi foto yang luar biasa. Melanggar tapi tidak salah.

Jika dipikir-pikir, diri kita ini tak ubahnya seperti kamera. Dan kita dalam proses belajar fotografi kehidupan. Kita butuh keseimbangan dalam menjalani hidup. Tidak monoton. Indah tidaknya, tergantung bagaimana kita mampu mengatur warna hidup. Ada di kala waktu, kita hidup blur alias kabur, tak jelas. Kadang putih, dilain waktu berubah hitam. Bahkan diri kita tak jarang seperti kamera tak berlensa. Tidak bisa berbuat apa-apa, dan tak punya arti bagi orang-orang di sekeliling. Kita terkungkung dalam ketidakberdayaan.

Melihat kehidupan tak elok jika hanya selalu mendongak ke atas. Kita dituntut mampu melihat hidup ini dengan melihat ke segala sisi. Dari atas, bawah dan dari arah samping kiri-kanan. Lalu kitalah yang menentukan posisi pas untuk diri kita.   Bukankah foto yang baik, unik dan luar biasa, lahir dari dari sudut mana sang juru mampu menangkap objek dengan tepat.

Di kamera ada ISO, kemampuan atau tingkat sensitifitas sensor pada kamera terhadap cahaya. Semakin kecil nilai pada setingan ISO kamera, maka semakin besar cahaya yang didapatkan dan peluang terjadinya bintik-bintik (noise) dapat dihindari. Begitupun sebaliknya. Kita dilarang menggunakan ISO tinggi saat pagi atau siang hari. ISO tinggi hanya dibutuhkan pada saat memotret di malam hari.

ISO itu seperti syukur. Betapa sering kita selalu merasa kurang dan terus berburu kehidupan tanpa ditunjang kemampuan. Diri hanya mimpi. Kita terjebak di lingkaran yang dipenuhi bintik-bintik ketidakpuasan. Tidakkah kita mau hidup untuk selalu bersyukur, nyaman dan selalu sabar dan percaya janji tuhan ; nikmat itu pasti kutambah.

Dalam diri kita juga ada Shutter Speed. Sebuah potensi untuk terus beranjak menuju perubahan yang lebih baik. Potensi hebat untuk menyempurnakan eksposur, mengendalikan ego, menangkap hikmah dari setiap kejadian yang menimpa. Kita selalu berpikir positif dan membuang segala buruk sangka.

Ah ! Pikiranku dibubarkan oleh rasa lapar. Kutanggalkan baju kerja, bersalin pakaian lalu tetap memilih lantai untuk duduk, usai mengambil makanan yang terhidang. Jujur makanan yang kuasup enak, sejujur hatiku yang belum sepenuhnya mampu memaksimalkan kamera pada diriku.

Warkop Latimojong, Belopa 16 November 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline