Lihat ke Halaman Asli

Musyaffa M Sos

When we should change, there is chance

Juru Bicara Covid-19 wajib Jaga Harmonisasi Publik

Diperbarui: 30 Maret 2020   00:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fenomena Pandemi Covid-19, telah memunculkan geliat bidang public relations (Hubungan Masyarakat) di seluruh negara. Semua negara apapun jenis sistem politiknya menempatkan Hubungan Masyarakat (Humas) secara praktis guna menyampaikan segala hal penting terkait Covid-19 kepada publik. Di Indonesia khususnya, eksistensi praktik kehumasan terkait pandemi Covid-19, terlihat sejak diumumkannya dua kasus positif Covid-19 oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020. Saat itu, presiden beserta menteri terkait tengah duduk di Beranda Istana Merdeka (Veranda Talk), menyampaikan perihal masuknya wabah pandemi tersebut. Kepala negara dalam hal ini memiliki kewajiban menyebarkan informasi tersebut sekaligus memberikan kebijakan dan pernyataan secara konkrit perihal penanganan dan langkah antisipatif. 

Bentuk klarifikasi dan status keberadaan pandemi Covid-19 di Indonesia memang dinanti oleh publik. Hal ini dipandang penting, sebagai bentuk kekhawatiran  publik terhadap ganasnya pandemi tersebut. Wajar, karena publik sudah terlanjur terkonstruksi ganasnya wabah lebih dahulu dari media, apapun jenis medianya, tak peduli publik mendapatkan informasi dari media arus utama atau media sosial. Terkonstruksi melalui video viral, bergelimangan para pasien dan korban Covid-19, hingga menjadi Wuhan sebagai kota mati saat itu. Meskipun demikian, tertanam kabar, bahwa hanya Indonesia yang tidak terpapar pandemi, dengan dalih bahwa Indonesia memiliki suhu yang relatif panas. Ada juga pemimpin publik setingkat Gubernur menyebut, bahwa sebuah kewajaran jika pandemi tak menjalar. Menurutnya, hal itu terjadi karena masyarakat gemar mengonsumsi aneka rempah-rempah. Salah seorang pemimpin daerah tersebut menambahkan, bahwa berdasarkan studi sederhana dari salah satu Perguruan TInggi ternama menyebut, bahwa rempah-rempah atau empon-empon, seperti: Jahe Merah, Kunyit, Temulawak, Sere, merupakan komposisi minuman herbal penguat sistem imun tubuh guna menangkal Covid-19 menginfeksi tubuh. 

Semua pernyataan itu, kini tengah diuji publik. Kajian Humas, menyebut bahwa para pemimpin di dunia pemerintahan adalah praktisi humas. Artinya, mereka harus mampu menjaga reputasi, dan menyeimbangan kualitas komunikasi antara instansi pemerintah dengan publik. Realitas menunjukkan, apa yang telah mereka katakan, tidaklah sebanding dengan kondisi saat ini. Data dari covid19.go.id menunjukkan bahwa, Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 1.285 orang (29 Maret 2020). Data tersebut juga telah menggambarkan bahwa 30 provinsi telah menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB). Artinya, kepercayaan publik terhadap praktisi humas pemerintah mulai berada pada titik yang tidak maksimal. 

Meskipun, saat ini, pemerintah pusat telah menunjuk Juru Bicara Pemerintah Khusus Penanganan Covid-19. Namun, hal itu belum menjadi jaminan. Jika cara dan apa yang disampaikan juga tidak menunjukkan mutu komunikasi terhadap publik. Jika salah dalam menyusun pernyataan, apalagi jika pernyataan mengandung ambiguitas, bukan tidak mungkin, jika sesaat akan menimbulkan polemik. Misal, Usai Juru Bicara Pemerintah Khusus Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto menyampaikan keterangan pers perihal perkembangan pandemi di Kantor Badan Nasional Penanggulanagn Bencana (Jum'at, 27 Maret 2020). Nyatanya, hal itu telah memicu sentimen negatif. Perihalnya, karena pernyataannya tentang 'Si Kaya dan Si Miskin' dalam penyebaran pandemi di masyarakat. Lantas, sehari setelahnya (Sabtu, 28 Maret 2020), ia mengklarifikasi terkait pernyataan tersebut. Ia sebenarnya ingin menyadarkan agar orang Kaya harus meliburkan para pembantunya dalam kurun waktu sementara, dengan tetap memberikan hak bagi asisten rumah tangga berupa gaji pokok satu bulan berikut tambahan uang belanja sembako. Namun, karena pernyataan tersebut salah dalam penyampaian, maka wajar ketika hal itu justru menimbulkan makna ganda. 

Padahal, sejak awal beliau didaulat sebagai juru bicara pemerintah dalam penanganan Covid-19 dinilai cukup piawai. Bahkan, keberadaan Achmad Yurianto dinilai dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintah, daripada hal itu disampaikan oleh Menteri Kesehatan. Mengingat, publik juga sudah tidak terlalu merespon imbauan dan pernyataan dari Menteri Kesehatan, dr. Terawan. Oleh sebab itu, sebagaimana perspektif teroi humas sebutkan, bahwa keberadaan praktisi humas, seperti Juru Bicara, mempunyai peran penting dalam menciptakan dan mewujudkan hubungan yang harmonis dengan publik.

Padahal, secara manajemen, Juru Bicara Pemerintah perihal penanganan Covid-19 sudah mendekati level ideal. Jika diperhatikan, juru bicara selalu menyampaikan perkembangan status Covid-19 dan aneke imbauan kepada masyarakat dilakukan secara sistematis dan teratur. Jumpa pers dilakukan live, dan diliput media. Belum lagi, setiap media mengategorikan sebagai berita dengan status 'Breaking News'. Kondisi demikian, lebih dikuatkan ketika informasi perkembangan Covid-19 secara teratur disampaikan setiap sore hari, sekitar pukul 16.oo Wib. Dalam kajian media, ini merupakan waktu 'Primetime' bagi media, dan dalam posisi rate yang tinggi. Mengingat, publik tengah berada pada waktu santai usai menjalankan aktivitasnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline