Keterkungkungan yang dialami oleh masyarakat Nusantara telah ada sejak fase Nusantara terbentuk. Lepas dari masa eksistensi kerajaan. Nusantara memasuki dunia baru, dimana intervensi para penjajah telah mengerdilkan hampir keseluruhan rakyat kala itu. Dalam catatan sejarah, jelas negeri nenek moyang nyatanya menjadi sebuah hamparan menggiurkan bagi negara-negara penjajah yang silih berganti berdatangan. Umumnya, negara tersebut sebagian besar negara super power asal Eropa, dan sebagian kecil Asia saat itu. Deretan negara penjajah dengan deretan khas masing-masing yang telah membelenggu Indonesia, antara lain: Portugis, Spanyol, Belanda. Saat bersamaan, beberapa daerah nusantara tengah dikendalikan oleh Prancis. Tidak cukup dengan negara itu, negara lain pun juga turut ambil bagian, hadirnya Inggris pada beberapa wilayah negeri ini, termasuk Bengkulu menyisakan cerita tersendiri. Belum lagi, satu-satunya negeri Asia yang berani mengendalikan peri-kemanusiaan Indonesia, yakni Jepang. Jepang berkamuflase dengan semboyan 3A, Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelita Asia, Jepang Pelindung Asia.
Uniknya, sebenarnya di fase akhir, mereka antar negara penjajah saling berebut kuasa wilayah teritori dan akhirnya perang satu sama lain. Indonesia melawan mereka semua, dan sekaligus menjadi medan pertempuran bagi negara-negara penjajah. Nyaris, hanya orang-orang tertentu saja yang ‘suara lantangnya’ terdengar ke telinga para komandan negeri imperialis. Pada fase inilah, secara tradisionalis, para pemimpin dan tokoh rakyat memainkan perannya. Ada yang berperan sebagai jendral dan panglima perang mengusir penjajah. Tetapi, ada juga yang justru mengambil keuntungan demi memenuhi ‘birahi duniawi’. Jika, rakyat memperoleh pemimpin demikian, nyaris kesengsaraan rakyat jelata semakin ketara dan tak menentu kapan berakhir.
Sebaliknya, jika mereka memperoleh pemimpin dengan jiwa juang mengusir penjajah, ia lantas menjadi garda terdepan dalam perjuangan. Maka, semangat berkorban dari pengikutnya dapat menggetarkan langkah prajurit penjajah. Ini yang selanjutnya lebih dekat dengan sebutan pemimpin pergerakan.
Munculnya pemimpin pergerakan sudah dimulai sejak para pemuda membuat komunal pergerakan rakyat. Dengan berdirinya, organisasi Boedi Oetomo kala itu menjadi fase awal dimana suara rakyat pribumi pembela nenek moyang berdengung nyaring masuk ke relung telinga dan mata buta para penjajah. Paling tidak, ada suara kemerdekaan dalam bidang ‘pendidikan’. Karena memang, organisasi yang dipimpin oleh Dr. Soetomo dengan diprakarsai oleh deretan mahasiswanya sejak awal memilih sisi pendidikan sebagai arus utama perjuangan. Ini menjadi tanda, bahwa dalam menyuarakan pendapat sudah mulai terorganisir. Bukan lagi suara pribadi, tetapi keputusan dan kebijakan menjadi suara organisasi. Lebih kuat dan lebih solid dari pendapat pribadi semata. Artinya, ini sebagai tanda fase kekuatan suara kolektif kolegial. Lahirnya Boedi Outomo 1908, menjadi tonggak sejarah kebangkitan nasional Indonesia.
Guna mengimbangi gaungan suara para kaum nasionalisme Boedi Oetomo, maka perlu juga ada poros yang lebih parsial. Kaum agamis perlu juga mempertahankan kekuatan ideologis masing-masing. Maka, muncullah perserikatan Muhammadiyah pada 1912. Muhammadiyah memberikan tawaran yang lebih modern dengan konsep semangat juang pembaharuan. Namun, nyatanya tak semua kaum agamis sependapat, karena ada juga kaum agamis yang menginginkan kelestarian ‘kesucian’ sebagaimana telah dirintis oleh pejuang awal Islam. Kaum ini lebih berfokus pada tradisi keagamaan masyarakat tradisionalis. Maka, 1926, lahirlah Nahdlatul Ulama’ (NU). Lalu, beberapa aliansi masyarakat keagamaan juga mulai membuat embrio hingga lahirnya aneka organisasi apapun itu, sesuai platform dan selera masing-masing. Kesemuanya, hingga saat ini telah mengembangkan gerakannya, sudah mulai memasuki ranah dan aspek apapun untuk keberlangsung negara.
Namun, seiring berjalannya waktu, akhir Maret 1945, para tetua organisasi dan tokoh publik mulai merumuskan bentuk platform sebuah negara. Kemudian hari, hingga saat ini dikenal dengan Ideologi Negara dan Bangsa Indonesia. Maka, pada Agustus 1945, melalui dialektika antar tokoh terwujudkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai pilar penting dan pondasi kebangsaan. Semua kepentingan organisasi harus senafas. Tidak boleh berbenturan dengan semangat juang yang terpatri pada nilai dan moral Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Dua unsur ini tidak dapat memenuhi kekuatan yang ada, perlu unsur lainnya, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhineka Tunggal Ika.
Akhirnya, semua menjadi kolektivitas unsur. Sehingga menjadi empat pilar kebangsaan yang dikenal dan digaungkan hingga saat ini. Empat pilar kebangsaan itu adalah bingkai kesamaan atas segala perbedaan. Sehingga, dalam nafas pembangunan bangsa, harus didasarkan pada semangat menjunjung tinggi nilai dan norma yang ada, yakni: apapun bentuk perilaku dan sikap warga negara tidak boleh bertentangan dengan empat pilar kebangsaan itu.
Sejak awal kemerdekaan, guna menyampaikan maklumat penting dan menginformasikan perkembangan stabilitas nasional, para pemimpin dan pemuka masyarakat memaksimalkan keberadaan pers dan lembaga penyiaran. Aneka harian terbit sebagaimana mestinya dan memprasastikan kabar kenegaraan. Begitupun, lembaga penyiaran, baik televisi maupun radio juga tutur mendistribusikan berita.
Siaran Radio Republik Indonesia (RRI) terkait proklamasi kemerdekaan RI menjadi bukti perkembangan sistem komunikasi di Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Hal itu juga terlihat saat uji coba penggantian dasar negara, Pancasila oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui gerakan super tidak peri kemanusiaan. RRI juga turut serta mengabarkan semua perkembangan itu. Dan hal itu, tidak bertentangan dengan nilai dan moral pilar kebangsaan.
Namun, mereka (media pers dan penyiaran) yang kala itu dianggap tidak senonoh dengan pemerintah dan mengancam empat pilar kebangsaan. Maka dipastikan memperoleh punishment berupa pembredelan tanpa ampun. Artinya, semangat menjaga empat pilar kebangsaaan tidak hanya menjadi tanggung jawab organisasi kemasyarakatan dan organisasi keagamaan, tetapi juga menjadi tanggung jawab media pers.
Sementara itu, dalam sistem politik kenegaraan Indonesia, sistem pers menjadi pilar ke-empat demokrasi, setelah lembaga Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Hal ini, berlaku hingga saat ini.