Lihat ke Halaman Asli

Kebaya, Jati Diri, dan Simbol Perlawanan

Diperbarui: 21 Oktober 2017   05:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Menguatnya nilai-nilai kesakralan kebaya pada akhir abad 19 sampai awal abad 20 tidak bisa dihindari. Namun, gerakan nasionalisme dan perlawanan terhadap kolonial, membuat nilai kesakralan kebaya terkikis. Selanjutnya, kebaya menjadi jati diri dan simbol perlawanan. Akibatnya kebaya, tidak lagi menjadi simbol status sosial. 'Nyonya Belanda' tidak lagi memakai kebaya. Puncaknya, saat Jepang menjadikan kebaya sebagai baju resmi tahanan perempuan pribumi. Peraturan tidak tertulis ini, entah bagaimana bisa berlaku hampir di setiap camp tahanan Jepang.  

Gelombang kemerdekaan makin tinggi dan membesar di tahun 40, ikon-ikon nasionalisme juga makin menguat. Presiden Soekarno mengusung peci sebagai citra wong cilik yang diperjuangkan dan memproklamirkan kebaya sebagai baju nasional. Nasionalisasi kebaya dapat dilihat saat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, sehingga kebaya mempertegas identitas nasional kaum perempuan Indonesia.

Posisi kebaya kembali jatuh saat orde baru. Kebaya dicitrakan sebagai produk Soekarno, alhasil kebaya dijauhi. Kaum perempuan tidak mau mendapat citra buruk, sehingga beralih ke baju moderen, apalagi dalam masa kepemimpinan Soeharto membuka keran import untuk perdagangan dan budaya. Hingga pada awal 90-an kebaya kembali muncul dengan bahan-bahan yang mewah. Harganya pun melambung dan menyentuh kalangan dengan kasta sosial yang tinggi. Reformasi, di segala bidang membuka pintu kreativitas makin terbuka lebar. Pada 1997-2002, kreatifitas mulai dilepasliarkan dan konon keliaran ide tersebut makin menaikkan derajat kebaya.

Kebaya Tak Sekedar Busana, Ia Punya Cerita

Kebaya adalah jati dari dan identitas perempuan Indonesia. Saat ini kebaya kembali mendapat tempat di kalangan sosialita dan hampir semua kelas sosial. Namun, risiko dari keliaran ide dan kreativitas adalah tergerusnya esensi dan nilai.

Kini sudah hampir tidak bisa ditemukan lagi perempuan di perkotaan maupun yang masih tinggal di pedesaan yang mengenakan kebaya dalam busana sehari-hari. Judi Knight Achyadi, salah satu tokoh utama wastra Indonesia, punya pertanyaan yang sama terhadap 'nasib' kebaya tradisi. Bukan ketakutan pada hilangnya kebaya, namun pada ketidak pedulian pelaku kebaya pada cerita masa lalu kebaya. Kebaya memang bisa dibandrol dengan angka jual yang mencapai 8 digit atau bahkan 10 digit, namun berapa digit yang disisihkan untuk penelitian kebaya? Atau memang seharusnya penelitian tentang kebaya adalah urusan pemerintah? Ataukah sudah ada kesepakatan tentang kebaya pesta, yang filosofinya tergantung dari tingginya harga? Atau biarkan urusan kebaya ini diselesaikan oleh orang-orang yang peduli, termasuk 'tetangga sebelah' yang mulai berancang-ancang untuk menarik kebaya sebagai tempat lahirnya?

Bagaimana kalau pertanyaan atau kesimpangsiuran dari kata 'mungkin' yang disematkan pada banyak cerita tentang kebaya dikembalikan kepada pemakai dan perancang kebaya? Jawabnya ada di tangan Anda!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline