Lihat ke Halaman Asli

Murti Wulandari

mahasiswi-FPB

(Pangan 2019) Menuntut Tanpa Menghargai

Diperbarui: 29 Oktober 2019   17:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: tempo

Berbicara tentang pangan, setiap manusia membutuhkan komoditas-komoditas pangan dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari baik itu beras, kedelai, gandum, jagung, bawang dan lain sebagainya. 

Namun pernahkah kita berfikir darimana datangnya itu semua? Pernahkah kita bertanya dan peduli kepada orang-orang yang berperan penting yang telah menyediakan semua kebutuhan pangan kita? 

Kita menuntut beras yang kualitas bagus dengan harga semurah mungkin, namun tidakkah kita mengetahui betapa besarnya modal dan usaha dikeluarkan petani untuk memproduksi padi dan berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam satu kali tanam padi? Kadang kita hanya menuntut tanpa peduli orang lain, kita terlalu egois dengan segala kepentingan sendiri.

Swasembada pangan dengan kata yang mudah dipahami adalah suatu usaha untuk mencukupi kebutuhan sendiri, itulah yang sering terdengar dari elit-elit negara ini. Namun apakah sudah ada usaha yang cukup untuk terlaksanaya swasembada pangan? Bedasarkan data kementrian pertanian 2015, produksi beras di Indonesia pada tahun 2017 bisa mencapai 46 juta ton, dengan jumlah konsumsi 32 juta ton. 

Ini berarti neraca beras nasional surplus 14 juta ton, ini hanya salah satu contoh. Namun dengan alasan dan beberapa kepentingan politik untuk menjaga harga beras tetap stabil pada tangan konsumen, mentri perdagangan memutuskan untuk impor beras dari Thailand dan Vietnam. Tanpa kita sadari konsumen sangat berperan penting dalam swasembada pangan ini, karena siklus perputaran produksi dan konsumsi. 

Para petani sangat tidak setuju dengan kegiatan impor, karena produk seperti beras dan kedelai lokal dengan harga yang cukup tinggi menjadi tidak laku lagi dipasaran sehingga produk lokal petani Indonesi tidak mendapatkan pasar yang setimpal dengan apa yang telah dilakukan. Menurut saya impor boleh-boleh saya kalau suatu produk tersebut tidak tersedia di Indonesia, namun jika impor tidak ditangani dengan baik bisa menghilangkan rasa semangat para petani dalam negeri.

Petani digoncang sedimikian rupa untuk memproduksi tanaman pangan, bahkan diminta menanam tanaman dengan satu komoditas lebih dari satu kali tanam. Namun harga yang ditawarkan tidak setimpal dengan apa yang mereka lakukan, tidakkah kita berfikir petani juga berhak untuk dihargai? 

Petani bukan buruh yang senaknya disuruh untuk memproduksi beras, petani juga manusia yang memiliki kehidupan layaknya manusia yang membutuhkan sandang dan pangan. Tidakkah kita berfikir bahwa di negri ini yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin? Saya rasa begitu, jangan hanya melihat ke atas kawan, kita petani ada dibawah. 

Pernahkah kalian menghargai dan mengenal kami lebih lagi? Ketika kami menanam padi di sawah ataupun ladang kami tidak pernah mengeluh karna kami hidup dari pekerjaan kami. 4 bulan lamanya kami merawat tanaman padi dengan berbagai perawatan dan banyak hal yang kami lalui. 

Suara petani tidak pernah terdengar ketika pupuk tidak tersedia, ketika pupuk subsidi ditimbun oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan ditimbun oleh perusahaan perusahaan besar sehingga petani kecil yang benar-banar membutuhkan pupuk subsidi tidak kebagian lagi. Bagaimana petani bisa menghasilkan komoditas pangan dengan kualitas dan kuantitas yang baik jika keadaan pupuk yang tidak tersedia?

Mari berfikir teman-teman, hidup bukan hanya tentang diri sendiri, namun masih banyak orang-orang yang menderita hanya karna keegoisan kita. Mari buka mata dan melihat kebawa, petani tidak mampu berjalan sendiri, petani kita butuh dukungan dan penghargaan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline