Saya masih ingat hari itu adalah hari pertama perayaan Idul Fitri dan ini merupakan kali pertama saya menjalani lebaran bukan di kampung halaman. Terhitung hampir enam bulan saya tinggal di sini, mendengar suara deru mesin kuda besi adalah hal biasa karena tempat tinggal saya memang dekat dengan jalan raya. Sesekali jika ada rombongan motor yang menyalakan klakson berkali-kali sudah sangat saya fahami biasanya rombongan itu diikuti oleh mobil ambulan dan menandakan bahwa ada orang yang meninggal dan mau ditempatkan ke tempat peristirahatan terakhir.
Sedikit banyak saya mulai hafal kebiasaan orang sini, serta mulai mencintai kota ini. Meskipun ibukota provinsi tapi belum ada satupun mall di sini, jangankan mall swalayan pun bisa dihiting jari. Meskipun sedikit yang penting bisa untuk mewujudkan bisa untuk membeli sanack dan mewujudkan kata jangan nonton bola tanpa kacang garuda. Tapi untuk urusan sepakbola, pada tahun 80-an kota ini pernah menjadi runner-up liga perserikatan dan menghasilkan pemain sekaliber Adolof Kabo, Elly Rumaropen, Yonas Sawor, dan masih banyak lainnya. Saat ini pun tim futsal dari kota ini menjadi tim papan atas nasional.
Kota ini bernama Manokwari ibukota Provinsi Papua Barat, dijuluki sebagai kota injil bukan berarti kota ini tak cinta akan sepakbola. Perseman Manokwari pernah menjadi runner-up pada era Perserikatan pada tahun 1986, saat inipun tim Futsal Blacksteell dan Permata Indah Manokwari menjadi tim yang disegani di negeri ini. Menjulukinya dengan tanah surgapun rasanya bukan hal yang berlebihan, karena alam bawah laut di sini sangat indah. Meskipun Manokwari bukanlah Raja Ampat tapi setidaknya dua kota ini berada pada provinsi yang sama yaitu Bumi Kasuari Papua Barat.
Semenjak dimulai perhelatan Piala Dunia 2018 di Rusia ada hal baru yang dapat saya pelajari, yakni cinta kota ini tak pernah mati kepada bola. Beberapa kejadian yang saya alami akhir-akhir ini merupakan sebuah bukti besar cinta itu. Mulai dari bagaimana euphoria kota ini menyambut piala dunia dan cara yang kota ini lakukan sangatlah berbeda.
Setiap Sore dan Subuh Ramai Akan Konvoi
Saya masih sangat ingat, Jumat sore itu adalah hari pertama Idul Fitri, tiba-tiba saya terbangun ketika mendengar suara rong-rongan knalpot dari barisan motor-motor atau lebih mudah menyebutnya konvoi. Dalam hati saya membatin, ada acara apa lagi ini mungkinkah ini konvoi Idul Fitri? Tapi rasanya tidak mungkin. Dalam keadaan setengah sadar saya mendengar sayup-sayup suara tetangga bahwa itu adalah konvoi euforia piala dunia. Seketika itu pun saya teringat bahwa nanti malam adalah laga pertama perhelatan piala dunia yang mempertandingan tuan rumah Rusia melawan Saudi Arabia.
Rasanya belum puas apabila belum melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana konvoi itu, tapi belum sempat sampai di pinggir jalan raya konvoinya selalu sudah berakhir. Tapi hari itu berbeda, malam itu merupakan pertandingan perdana di masing masing grup dan yang bertanding pada malam dan dini harinya adalah Jerman dan juga Brazil.
Saya dengar dari dalam kosan konvoi kali ini rasanya lebih banyak yang ikut, lalu saya putuskan untuk bergegas melangkah ke pinggir jalan raya. Amazing, banyak banget woyy yang konvoi rastusan orang naik motor dan juga mobil berkonvoi dengan menggunakan jersey dan bendera Brazil lantas di belakang barisan pendukung Brazil ada konvoi pendukung Jerman lengkap dengan jersey dan benderanya.
Semenjak itu, sayapun mulai tidak asing lagi dengan suara knalpot konvoi yang hampir setiap sore dan dini hari selalu mengusik telinga, tapi disitulah saya menemukan arti dari kata euforia. Beberpa hal yang saya cermati dari konvoi ini, ada tiga tim yang mempunyai basis pendukung sangat banyak alias konvoinya lumayan panjang yaitu Brazil, Jerman, dan Argentina.
Euforia Piala Dunia itu Sampai Ke Pasar
Kebetulan hari itu mau ada acara halal bi halal pegawai kantor, salah satu kegiatannya adalah bikin rujak buah. Saya dan teman saya bertugas untuk berbelanja buahnya.