Lihat ke Halaman Asli

Tepatkah Sistem Pembiayaan Kapitasi untuk Faskes Primer?

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Seperti diketahui bersama, BPJS menerapkan pembiayaan model kapitasi untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama (primer) dan model INA-CBGs untuk tingkat lanjutan. Diberitakan banyak yang khawatir bahwa model kapitasi ini tidak memberikan imbal jasa yang memadai bagi dokter di faskes primer. Ada angka-angka yang keluar, Rp 3.000, Rp 6.000, Rp 15.000 atau angka lainnya. Tetapi pertanyaan mendasar sebelum sampai pada angka, apakah model kapitasi ini cocok atau tetap untuk faskes primer?

Sebenarnya saya belum pernah ikut kuliah mengenai sistem kapitasi ini. Tetapi dari bertanya ke pengelola klinik langsung dan informasi dari berbagai bahan di internet, saya simpulkan secara sederhana sistem kapitasi mengandung 2 elemen utama. Yang pertama adalah unit cost pelayanan kesehatan, dan kedua adalah tingkat pemanfaatan fasilitas pelayanan (angka utilisasi). Cara menghitungnya pun sederhana. Jika suatu faskes primer ditunjuk menangani 5.000 penduduk, dengan angka utilisasi 20%, sementara unit cost misalnya Rp. 50.000, maka angka kapitasinya 20% x Rp 50.000 = Rp 10.000.

Apa arti angka 10.000 per kepala ini? angka kapitasi ini tidak sama dengan biaya pengobatan atau unit cost. Jadi tidak benar kalau diberitakan seorang dokter dibayar dengan Rp 6.000 per orang jika kapitasinya 6.000. Angka Rp 6.000 atau Rp 10.000 ini adalah nilai yang dibayarkan oleh penjamin (BPJS) per kepala setiap bulan kepada penyedia jasa (faskes). Jadi dalam 1 bulan, ada atau tidak penduduk yang sakit, penjamin akan membayarkan sebesar Rp 10.000 x 5000 orang = Rp 50 juta untuk dikelola oleh faskes tersebut. Di dalamnya ada komponen honor dokter yang tentunya sudah disepakati bersama oleh dokter dan faskes.

Apakah sampai sini penjelasannya cukup? sejauh ini, dalam pelaksanaan JKN, penjelasan dari pihak penjamin belum terlalu jelas. Bahkan dalam banyak berita angka kapitasi seolah-olah adalah angka yang diterima oleh dokter per pasien. Tapi oklah, seandainya masyarakat sudah dianggap mengerti, apakah cukup?

Menurut hemat saya, pertanyaan dalam judul posting ini belum terjawab dengan menjelaskan apa makna dari angka kapitasi. Arti kata “tepat” dalam judul di atas sesungguhnya mensyaratkan bebarapa hal, diantaranya (i) kelayakan pembiayaan jasa pelayanan yang diberikan, termasuk honor dokter dan tenaga kesehatan serta fasilitas kesehatan, dan (ii) insentif untuk upaya promosi kesehatan yang diharapkan oleh faskes.

Mengenai kelayakan pembiayaan jasa yang sudah diberikan, ada hal yang perlu dicermati. Elemen unit cost biasanya menggambarkan biaya yang sesungguhnya terjadi (real cost). Jadi bukan tarif pelayanan, yang umumnya sudah ditambah dengan sedikit marjin. Ini berarti faskes harus memasukkan semua biaya yang terjadi agar faskes tersebut dapat terus bertahan. Pertanyaannya apakah semua faskes sudah menghitung unit costnya dengan baik? Kalau belum, siap-siaplah faskes nombok. Kalau ternyata sudah ada kebijakan tarif dari pemerintah, pertanyaan serupa dapat diajukan. Apakah tarif standar (begitu juga dengan tarif INA-CBGs) itu sudah mewakili faskes primer tempat diberlakukannya tarif tersebut? Pertanyaan ini tidak perlu dijawab, karena kita dapat menemukan bagaimana wujud faskes primer yang ada saat ini.

Berikutnya, konon diberlakukannya kapitasi agar upaya promosi kesehatan berjalan dengan baik. Kalau baik, maka sedikit penduduk yang sakit, sehingga faskes dapat menikmati sedikit kelebihan dana yang diterima dari penjamin. Terus terang saja, realisasinya seperti apa promosi kesehatan yang diharapkan dari faskes? dokter berkeliling area melakukan penyuluhan? faskes membuat leaflet atau brosur dan dibagikan kepada penduduk? apakah kegiatan promosi ini tanpa biaya? apakah harus mengambil sedikit dari dana operasional yang pas-pasan seperti dijelaskan sebelumnya?

Satu hal lagi yang cukup mengganggu. Disampaikan melalui media bahwa setelah 3 bulan, peserta boleh berobat di mana saja. Apa konsekuensi dari kebijakan ini? yang pasti data tentang utilisasi faskes tadi bisa jadi tidak akurat. Penduduk yang seharusnya dilayani di faskes tertentu (asal) pergi berobat ke faskes lain (tujuan). Hal ini baik buat faskes asal dimana penduduk tersebut tinggal karena bulan tersebut dananya berlebih, sedangkan faskes tujuan menjadi “rugi” karena pasiennya bertambah. Lebih lanjut ketika dilakukan evaluasi kapitasi menggunakan data historis, maka data historis yang tidak akurat ini akan merugikan faskes awal karena utilisasinya rendah. sebaliknya akan menguntungkan bagi faskes tujuan karena utilisasinya tinggi.

Berdasarkan hal ini, sebaiknya kebijakan dalam JKN yang dilaksanakan oleh BPJS ini harus dibuat secara komprehensif. Jangan tampak bagus di mata masyarakat saja, padahal berdampak sebaliknya, tidak hanya bagi masyarakat, tapi juga bagi penyedia jasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline