Lihat ke Halaman Asli

Murni Marlina Simarmata

Dosen Aro Gapopin

Mengantisipasi "Predatory Pricing" di Pasar Non Tunai Indonesia

Diperbarui: 13 Oktober 2019   10:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Illustrasi gambar: transaksi nontunai (kompas.com)

Sekarang dengan mudah kita mendapatkan potongan harga dan cashback (uang kembali sebagian) saat berbelanja, dengan syarat: transaksi dilakukan secara nontunai melalui alat pembayaran digital yang disediakan perusahaan tertentu. GoPay, OVO dan DANA termasuk tiga alat pembayaran nontunai yang gencar melakukan promo besar-besaran di tanah air.

Potongan harga dan berbagai keuntungan yang mereka tawarkan seringkali membuat konsumen ngiler dan turut mendongkrat geliat pasar. Pada satu sisi, banjir promo tersebut layak disambut positif karena memberi keuntungan ganda bagi penduduk Indonesia. Masyarakat menikmati keuntungan ekonomi dan kemudahan dalam berbelanja.

Akan tetapi, untuk menjaga iklim perkembangan jangka panjang pasar uang elektronik di Indonesia, fenomena promo besar-besaran tersebut mesti disikapi dengan hati-hati terutama oleh pemerintah. Pemerintah sebagai regulator harus memastikan berbagai promo besar-besaran tersebut masih dalam batas nilai keekonomian, bukan sebuah praktek predatory pricing

Modus ini telah lama digunakan oleh para kapitalis di berbagai belahan dunia untuk menyingkirkan para pesaing dengan menjatuhkan harga hingga jauh di bawah batas normal.

Dalam konteks pasar nontunai di Indonesia, bisa saja perusahaan bermodal besar melakukan praktek predatory pricing dan indikasinya cukup kuat. Caranya adalah terus menerus menyediakan layanan berharga murah atau mensubsidi para pedagang mitra sehingga memberikan potongan harga besar bagi para konsumen tiap kali berbelanja menggunakan alat pembayaran yang disediakan perusahaan tersebut. Praktek ini lazim kita sebut "membakar uang".

Harga di pasar akan jatuh. Satu per satu pesaing bermodal kecil tumbang. Selanjutnya terjadilah monopoli oleh perusahaan dengan modal terbesar. Pada gilirannya, konsumen (masyarakat) juga akan dirugikan oleh praktek monopoli. 

Konsumen dengan mudah dapat didikte oleh perusahaan pemegang monopoli karena tak lagi memiliki pilihan lain. Di saat seperti inilah perusahaan pemenang persaingan berkonsentrasi mengejar untung untuk menebus uang yang telah mereka "bakar".

Praktek monopoli akan menjadi titik balik dari perkembangan pasar nontunai yang kini tengah melesat di Indonesia. Sebagai gambaran, tahun lalu nilai traksaksi uang elektronik di Indonesia Rp. 47,2 Triliun. 

Angka ini berhasil dilewati hanya setengah tahun 2019 karena pada bulan Juli lalu BI mencatat nilai transaksi uang elektronik sejak Januari sebesar Rp. 69 Triliun.

Perkembangan pesat tersebut perlu terus dirawat, salah satunya dengan menjaga iklim persaingan sehat di antara para perusahaan penyedia layanan uang elektronik yang hingga kini telah berjumlah 38 perusahaan. 

Animo masyarakat hanya dapat ditumbuhkan jika tersedia berbagai pilihan kemudahan dari berbagai perusahaan bagi mereka. Maka praktek-praktek predatory pricing yang menjurus pada monopoli harus dihindari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline