Lihat ke Halaman Asli

Murni Oktarina

Inspektorat Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir

Kasih Suami Laksana Matahari

Diperbarui: 8 Juni 2017   09:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dear Suamiku....
Dari sekian banyak wanita di bumi ini, Allah telah memilihku untuk mendampingimu. Dulu-dua tahun silam, saat pertama kali kita dipaksa menikah oleh orangtua kita, aku merasakan seluruh dunia memusuhiku dan Allah tak menyayangiku. Lalu aku pun memberontak. Bukan memberontak pada orangtuaku atau orangtuamu, tapi pada dirimu. Ya, aku berpura-pura setuju dengan perjodohan kita karena aku tak ingin dianggap anak durhaka. Apalagi perjodohan kita ini juga satu-satunya tanda terima kasih orangtuaku kepada orangtuamu yang telah berjasa pada keluarga kami. Dan setelah kita menikah, kekesalanku atas takdir hidupku ini kulimpahkan semuanya padamu!

Suamiku yang selalu berada dalam kesabaran....
Ingatkah kau, setelah pesta pernikahan yang cukup meriah, kita langsung mengontrak rumah karena aku tak ingin satu atap dengan keluargaku atau pun keluargamu. Bukankah aku ingin membalaskan dendamku padamu. Jika kita satu rumah dengan keluarga kita, tentu aku tak akan leluasa melakukan itu semua.

Mungkin menyakitkan bagimu saat aku tidak pernah memasak untukmu, saat aku tidak mengantarmu ke depan pintu ketika kau akan berangkat ke kantor, juga saat aku hanya bermalas-malasan di rumah sedangkan kau yang melakukan seluruh pekerjaan rumah. Padahal statusku yang sudah sah menjadi istrimu berkewajiban untuk melaksanakan peranku sebagai seorang istri yang seharusnya bertanggung jawab melakukan itu semua.

Sungguh, kau suami terbaik di dunia ini....
Kau tak pernah marah atas semua sikapku. Setiap pulang dari kantor dalam keadaan letih, tetap saja senyum manismu selalu kauhadiahkan untukku. Dulu, aku menganggap senyum itu palsu. Jadi selalu kubalas dengan sikap acuh tak acuhku.

Sampai pada suatu pagi, aku sedikit heran denganmu. Sehabis shalat subuh biasanya kau tak pernah kembali ke tempat tidur. Tapi di pagi itu, kau ikut berbaring di sampingku. Padahal berkali-kali kau mengingatkanku untuk tidak tidur lagi sehabis subuh, kecuali memang ada alasan yang mengharuskannya. Aku sengaja tidak bertanya padamu dan kau juga tidak mengajakku berbicara.

Suamiku yang dulu pernah kubenci....
Ternyata hari itu kau sedang demam. Kau tidak ke kantor. Kau menyuruhku untuk mencarikan seseorang yang bisa menggantikanmu membeli makanan untuk kita, membersihkan rumah kita, mencuci pakaian kita. Kau bilang kau sedang tidak enak badan sehingga tidak bisa melakukan itu semua. Kau suami yang baik ya, kau tidak menyuruhku melakukannya. Padahal aku sadar itu adalah tugasku.

Suamiku....
Di hari ketika kau sedang sakit itu, aku malah meninggalkanmu. Aku pergi bersama teman kuliahku seharian. Aku tidak meminta izinmu. Aku juga lupa mencari seseorang untuk mengurus rumah kita menggantikanmu. Tiga kali aku melihat di layar HP-ku muncul namamu, namun sengaja tidak kuangkat. Aku kan sedang bersenang-senang dengan teman-temanku. Aku tidak mau diganggu!

Selepas magrib, aku baru pulang ke rumah. Aku melihatmu masih di tempat tidur seperti pagi tadi. Kau berkata lirih, "Sayang...kau sudah pulang? Mana orang yang akan mengurus rumah kita, kok gak datang-datang?" Dengan malas aku menjawab, "Aku lupa mancari orangnya, Mas."

Kulihat wajahmu pucat. Pucat sekali. Aku merasa sedikit khawatir. Ternyata kau belum makan apa-apa sejak pagi. Kau sulit berdiri karena merasakan pusing yang hebat jika kaupaksakan untuk berdiri. Ya Allah, mendengar itu aku jadi merasa seperti orang yang jahat sekali. Biarlah kali ini aku sedikit mengalah. Aku akan memasak sedikit untuk makan malammu.

Selesai memasak ala kadarnya, aku kembali ke kamar dengan membawa hasil masakanku. Akan tetapi, kau tidak membuka matamu saat kupanggil. Kau tidak bergerak saat kusentuh tubuhmu. Kau pingsan, Suamiku.

Di rumah sakit, dokter mengatakan kau harus diopname satu sampai dua hari karena kau terserang gejala tifus. Kata dokter, tubuhmu dalam keadaan lemah sehingga penyakit mudah menyerang. Apakah kau makan teratur dan hidup bersih, dokter menanyakan itu padaku. Aku tidak menjawab pertanyaan tersebut melainkan langsung masuk ke dalam untuk melihat keadaanmu. Kenapa perasaanku bisa seperti ini? Aku sangat mengkhawatirkan keadaanmu. Padahal aku tidak mencintaimu sama sekali. Ah, sudahlah! Mungkin aku hanya terbawa oleh perasaan bersalahku karena meninggalkanmu seharian tadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline