In he heden ligt het verieden, in het nu wat worden zal
(Sekarang ini adalah karena kemarin dan esok adalah karena hari ini)
Verboden voor inlanders!
Pagi ini terasa lebih segar dari biasanya akibat hujan semalam. Daun kamboja berubah menjadi hijau setelah seminggu tertutup debu, rumput-rumput menyembul menohok pagi ini. Tak terasa Indonesia kini semakin ramai, mobil-mobil berderet macet mengejar rezeki pagi. Ini hari jumat, hari dimana Proklamasi didengungkan. Masih terasa letupan itu setelah sekian lama.
Syukur memang kita panjatkan kepada Sang Pencipta, yang telah menciptakan kemerdekaan ini, sebagai negara merdeka kita punya lembaga-lembaga tinggi negara yang lengkap; ada DPR,MPR,DPA, MA dan masih banyak lagi. Hampir semua kelengkapan negara merdeka kita punya. Anak-anak kita sekolah tiap pagi dan makan nasi setiap hari. Rasanya tak kurang rasa syukur itu terpanjat setiap hari. Tetapi kami Inlanders bukan Indonesiers.
Indonesierslah yang menikmati kemewahan ini, bahkan beberapa menjadi milyuner dollar mengalahkan mener Belanda. Mereka kini menduduki beragam jabatan penting dipemerintahan dan berkendara sedan mulus. Kami para inlanders kadang merasa iri dan menyalahkan bapak kami yang bodoh tak mau berjuang untuk menjadi Indonesiers. Kini kami kena getah yang melilit sukar untuk dibersihkan.
Kami mencoba berusaha kecil-kecilan, tetapi belum menjadi besar kami sudah diuber-uber dari tempat kami mencari nafkah tanpa diperhatikan nasib kami selanjutnya. Teman-teman kami di desa kehilangan hak atas sawahnya di usir dan digusur hingga mereka kini menjadi sulit dan banyak dari anak mereka kini berada diperkotaan menjadi budak indonesiers.
Kami inlanders dianggap hina, setia kepada kemalasan seolah-olah takdir membiarkan kami seperti ini. Kami inlanders dibilang malas tidak mau bekerja, tiada niat atau kemauan untuk bekerja atau berbuat sesuatu. Kami inlanders dibilang loyo dan lemah otak. Keterlaluan memang penghinaan ini, tapi kami tak punya daya melawan stereotip ini.
Inlanders kini berkeliaran dimana-mana, dikolong jembatan dan pertigaan rel kereta api. Di daerah kami menempati gubuk-gubuk reot yang bocor dan sesekali makan ikan dari jala yang kami tebar dipinggir sungai.
Boleh jadi kami memiliki cita-cita tetapi seringkali cita-cita terlupakan ketika perut lapar menyerang. Bermimpipun kami menjadi takut karenanya. Bapak kami mungkin seorang pejuang, itulah harapan kami, tetapi terkadang kami pikir ia mungkin juga seorang bromocorah, karena cuma manusia dengan mental itulah yang mau melahirkan kami dan membiarkan alam dan nasib menentukan hidup kami.
Bermimpi Bapak kami seorang pejuang yang ikut revolusi perjuangan bersama Bung Karno membuat besar hati kami, dan mungkin cuma itu bensin yang tersisa. Itulah rahasia kenapa kami tetap hidup sampai kini.