Lihat ke Halaman Asli

Bagaimana Sekolah Harus Bertanggung Jawab?

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Bagaimana menangani anak yang nakal atau super nakal? Bagaimana guru sebaiknya mengambil tindakan terhadap anak yang sikapnya terkadang “kelewatan”? Apakah sebaiknya guru membiarkan, bersikap sabar memahami “kenakalan” anak, menangani dengan persuasi atau suatu saat boleh bertindak dengan cara main tangan? Bagaimana pula sekolah menyikapinya sebagai bentuk tanggung jawab kelembagaan?

Alkisah ada anak yang dalam kegiatan sehari-hari bersikap “nakal” dan tidak bisa (tidak mau) mengikuti kegiatan pembelajaran dengan baik. Anaknya suka semaunya sendiri, tidak mau mendengarkan pelajaran, suka usil, sering nyeletuk tanpa tujuan, mengganggu teman-teman lainnya, dan lain-lain sikap yang dianggap “nakal” oleh guru. Melihat anak yang mempunyai seperti itu banyak guru yang merasa jengkel. Pelajaran menjadi sering terganggu. Teman-teman dalam satu kelas juga merasa sangat terganggu dengan ulahnya. Akibatnya pembelajaran sering tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Guru sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kelancaran proses belajar mengajar mempunyai sikap yang berbeda-beda menanggapi ulah anak “nakal” tadi. Ada beberapa guru yang bersikap sabar dengan mencoba memberikan tindakan perusasif kepada anak itu. Ada juga beberapa guru yang bersikap masa bodoh atau tak acuh terhadap tingkah-polah anak nakal tadi. Namun ada pula guru yang bersikap menunggu saat yang tepat untuk memberikan tindakan atas segala kenakalan yang dilakukan anak itu.

Kesabaran dan emosi guru terus diuji. Dalam batas tertentu kesabaran atas emosi kadang menjadi tidak terkendali. Yang terjadi, ada seorang guru yang mengambil tindakan main tangan terhadap anak nakal tadi. Sebuah tindakan yang dilakukan guru atas dasar pemberian efek terhadap akumulasi kenakalan yang dilakukan oleh anak. Seberapa berat dan seberapa kasar tindakan main tangan yang dilakukan guru tersebut tidak bisa diukur dengan tepat.

Efeknya, anak nakal tersebut esoknya tidak masuk sekolah. Ketika ditanya orang tuanya anak itu mengatakan kalau rahangnya terasa sakit dan dari matanya banyak mengeluarkan air mata. Entah kebetulan saja, entah lagi sakit atau entah akibat dari tindakan guru yang pasti kondisi itu membuat orang tuanya khawatir. Ingin rasanya orang tua itu segera membawanya ke rumah sakit untuk di rontgen guna mengetahui pasti kondisi yang sebenarnya terjadi. Tindakan yang ingin dilakukan orang tua itu disampaikan ke pihak sekolah dengan maksud menuntut tanggung jawab sekolah untuk membiayai segala beaya pengobatan. Alasan yang dipakai dugaan penyebab kondisi sakit yang dialami anak adalah guru maka pihak sekolah yang harus bertanggung jawab. Apabila sebaliknya, maka orang tua akan menempuh jalur hukum. Intinya, ada penawaran dari pihak orang tua apakah peristiwa ini akan diakhiri dengan kekeluargaan atau mau diselesaikan melalui jalur hukum.

Orang tua pada prinsipnya setuju memilih jalur kekeluargaan sepanjang sakit yang diderita anak semuanya menjadi tanggung jawab sekolah. Sekolah menyadari bahwa peristiwa itu terjadi dilingkungan sekolah maka sekolah siap mengambil tanggung jawab. Dalam konteks ini sekolah mengambil kebijakan dengan siap bertanggung jawab terhadap semua beaya pengobatan anak. Orang tua dipersilakan untuk mengurusi pengobatan anak dan sekolah yang akan menanggung beaya pengobatannya. Disisi lain sekolah langsung menghubungi guru yang melakukan tindakan terhadap anak nakal tadi. Informasi dari orang tua anak disampaikan semuanya kepada guru tadi. Dilatarbelakangi rasa tanggung jawab terhadap kondisi anak, guru tersebut menyanggupi untuk menanggung beaya pengobatan. Alhamdulillah, apa yang disampaikan pihak sekolah kepada orang tua mendapatkan respons tanggung jawab penuh dari guru.

Pelajaran yang bisa diambil dari peristiwa ini:


  1. Guru dituntut kesabaran yang tinggi untuk menangani permasalahan anak.
  2. Guru harus tetap menjunjung tinggi hak-hak anak untuk bisa mendapatkan perlakuan yang sebaik-baiknya.
  3. Sekolah harus mampu menjadi perantara antara guru dan masyarakat.
  4. Sekolah bertanggung jawab terhadap setiap peristiwa yang terjadi di sekolah.
  5. Guru yang melakukan tindakan “main tangan” harus berani bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya dengan mediasi dari sekolah.
  6. Perlunya kesadaran dan kerjasama yang baik antara orang tua, guru, dan sekolah.
  7. Diperlukan kemampuan mengontrol emosi untuk tidak dengan mudah mengambil tindakan secara fisik terhadap anak.



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline