Lihat ke Halaman Asli

Ilham MurtadloChaidary

Seorang Pemuja Isi Dompet

Wakil Tuhan

Diperbarui: 24 Maret 2021   20:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada ketakutan yang mengendap dalam jiwa. Hanya membara, bagai cahaya yang membara. Ketakutan itu membara, merasuki rongga-rongga yang ada dalam pikiran untuk menanamkan sedikit bayangan kematian, namun dengan cara membisu.

"Semoga ketakutan ini hilang ditelan cahaya Angin Malam," lirihku dalam harap.

            Sekujur tubuhku bergetar, membayangkan golok itu memenggal kepalaku dan juga anak-anakku. Aku yang hanya seorang petani di sebuah ladang kecil, tak akan mampu untuk menahannya, walau itu hanya berupa hembusan napas yang ia keluarkan dari lubang hidungnya. Ia adalah jelmaan dari sosok-Nya yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ia adalah wakil Tuhan di pelosok ini.

            Tak ada yang mampu menentangnya, bahkan para malaikat sendiri pun takut untuk menatap wajahnya. Pernah suatu malam, kulihat salah seorang malaikat terbaring kesakitan di dekat pohon kelapa depan rumahku. Malaikat itu meronta kesakitan, sayapnya sebelah kanan terlihat patah dengan bulu-bulu yang hangus terbakar.

            "Aku adalah malaikat pencabut roh yang diutus oleh Tuhan untuk menyampaikan pesan kematian," bisiknya padaku dengan sorot yang mengisyaratkan ketakutan, sesaat sebelum berubah menjadi abu yang dikelilingi cahaya.

            Aku sejak saat itu selalu dikelilingi oleh awan hitam yang berisi ketakutan. Pikiranku meneriakku sendiri, "Jika para malaikat saja yang menjadi pasukan Tuhan saja bergetar ketakutan menatapnya, apalagi aku yang sampai saat ini merasa belum bertemu dengan Tuhan sekalipun."

            Aku hanya berdiri di depan pintu rumahku, dengan kaki yang setelah setiap sekian detik menghentakkan pada ubin-ubin.

            Istriku hanya menatapku dengan menggendong anak semata wayangku.

            "Suamiku, bahkan sepuluh tahun saat golok itu menebas lehermu, namamu akan menebarkan aroma perlawanan yang sangat harum. Anak kita ini akan menyombongkan darahmu yang mengalir di tubuhnya pada semesta. Semesta akan memberinya mahkota atas namamu." Istriku berjalan ke arahku, menepuk pundakku yang bergetaran.

            Gerimis di luar tak kunjung usai, sepoi-sepoi angin juga masih kesana-kemari membelai rumah-rumah reyot tetangga dan milikku.

            "Aku,"- Kupandangi wajah istriku yang sedang menyembunyikan sedih dalam senyum palsunya --"Sedang menunggu Angin Malam."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline