Lihat ke Halaman Asli

Muqsid Mahfudz

Anak Kesanyangan Emak

Bias Interaksi: Akar Rumput Stigma pada Madura

Diperbarui: 23 Januari 2025   07:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mengakarnya stigma pada Madura tidak hanya berasal dari generalisasi atau stereotip, melainkan juga dipengaruhi algoritma media (Nafila, 2024: 59-68). Seperti konten-konten di sosial media misalnya, yang cenderung hanya mencari sensasi dengan memanfaatkan stereotip buruk pada Madura. Sialnya, konten itu juga dibuat oleh etnik Madura sendiri yang malah menyesuaikan diri dan justru mengamini stereotip yang ada. Akibatnya, lahirlah stigma yang mungkin tidak akan pernah reda. 

Bahkan lelucon kemistri dengan besi, beragama NU dan semacamnya itu bisa saja menjadi upaya pembiakan. Sebab humor tidak semuanya netral, melainkan juga  representasi dari superioritas  penutur humor  (Herlianto, 2019: 155). Dalam analisis wacana, humor etnis juga mengeksploitasi sisi buruk tertentu yang kemudian distereotipkan melalui narasi jenaka.

Prestasi Mereka Tidak Terbaca

Barangkali juga akan menjadi aneh? Misal, orang berhenti melontarkan stigma pada manisia Madura. Tentu, informasi mana yang ia baca?  Pasalnya, trademark pangkas rambut, penjual sate, dan usaha besi tua yang faktanya melekat sebagai branding usaha kreatif masyarakat Madura, masih  disebut sebagai bentuk rendahnya Sumber Daya Manusia hanya dengan alasan berkreativitas rendah. 

Padahal Eka Dartiningsih (2015:27) mengatakan, jika dalam Majalah Tempo Edisi 20-11-2011, suku Madura justru disebut  suku paling sukses berwirausaha  kelima atas sebaran model usaha itu di Indonesia.  Belum lagi menjamurnya Warung Madura yang mampu bertahan di antara usaha ritel modern, dengan tetap memegang teguh identitasnya. Dalam kajian Anita Kristina (2023:18), hal itu justru disebut sebagai fenomena menarik mengingat stigma yang menempel. Ini hanya satu contoh saja. 

Berkelindan dengan Kolonialisme

Senada dengan temuan Mustofa (2001:33), Royhan Fajar dalam "Demaduralogi: Merobek Studi Kolonial Madura" mengatakan jika dalam pustaka, Madura selalu digambarkan sebagai hamparan geografis kosong, penuh kekerasan, urakan, temperamental, tidak terkendali, gampang membunuh dan bahkan seperti binatang.  Stigma yang bisa dibilang berawal dari catatan  kolonial dalam De Java-Post tahun 1913 M.

Narasi serupa diungkapkan M. Faizi dalam "Sarung, Madura dan Inferioritas," jika pandangan rendah terhadap Madura dan masyarakatnya berawal dari kajian-kajian etnologi Belanda sebagaimana juga dinyatakan Sindhunata dalam resensi terhadap Across Madura Strait berjudul "Malangnya Orang Madura dan Teganya Orang Jawa" (Sindhunata, 2000: 359 -- 361). 

Bahkan, dalam narasi ini carok juga disebut sebagai warisan dan hasil manipulasi belanda (Martaji, 2005: 9, Tuki, 2017: 30, & Melina, 2024:36), yang barangkali ini hanya mengarah pada kegiatan pengeroyokan dan dehumanisasi. Sebab dalam tulisan Refi Oma (2000: 359 -- 361), watak keras dan kompetitif masyarakat Madura menurutnya lebih dipengaruhi faktor ekologis mereka yang kurang subur. 

Demikian berangkat dari  paparan Kuntowijoyo dalam kajiannya terhadap perubahan sosial masyarakat agraris di Madura. Bahwa tanah Madura berkapur, curah hujan minim, sungai penting minim, serta sistem irigasi yang juga minim. Walhasil, penghasilan utama mereka lebih banyak berasal dari lautan, garam dan ikan. Sefrekuensi dengan ini, Royyan Julian mengatakan jika ketegasan dan watak pekerja keras masyarakat Madura bahkan lebih banyak dipengaruhi oleh konstelasi Ekonomi (2022:133)

Dipengaruhi Migrasi Besar-besaran

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline