Setiap hari pengguna media sosial menciptakan 2,5 triliun byte data yang berlalu lintas di dunia maya (flood), data ini bersumber dari mana saja, yang paling dekat ketika pengguna internet menggunakan perangkat gerak seperti smartphone dan lain-lain apapun dalam genggaman, mengunggah konten ke situs media sosial berupa gambar, dokumen, video dan data informasi terbaru, bayangkan jika dikalikan ada berapa data yang ter-unggah dalam waktu setahun.
Kecenderungan berdiam diri sambil mata menatap perangkat gerak milik kita mulai bangun tidur sampai tidur lagi selalu tertuju untuk mencari informasi terbaru ataupun sekadar melihat lini masa media sosial, sampai saat ini media sosial menjadi kebutuhan komunikasi kita di dunia maya.
Indonesia, negara kita menurut Badan Pusat Statistik dengan jumlah penduduk lebih dari 255 juta jiwa, berdasarkan data demografi 90 persen rata-rata pengguna media sosial dibawah usia 34 tahun 54 persen di antaranya berusia 16 sampai dengan 24 tahun, seperti pelajar dan karyawan namun demikian ada juga pengguna dengan usia diatas 40 tahun (Trend and Statistics 2016), dengan latar belakang praktisi, pegawai, maupun masyarakat biasa.
Apalagi generasi sekarang tentu sudah familiar dengan jejaring sosial tersebut seperti Facebook, Twitter, Instagram dan YouTube serta aplikasi perpesanan sosial populer seperti WhatsApp, Line, BBM dan Facebook Messenger.
Sekian dari beberapa media sosial, pada dasarnya pengguna cenderung memilih salah satu jenis media sosial dengan alasan dapat memberikan dampak perkembangan informasi selanjutnya dapat mempengaruhi keputusan dari masing-masing pengguna melalui seleksi data-data yang ada tentu rasa nyaman menjadi poin penting bagi pengguna, sampai saat ini pengguna Facebook masih berada posisi atas bagi penduduk Indonesia yaitu 94 persen.
Pengguna media sosial di Indonesia, belakangan ini membuat gempar, padahal sudah ada saat sebelumnya yang hanya lewat, bukan dengan penemuan produk baru nan canggih tapi lebih ke akses yang mudah dilihat oleh publik, terlepas pengguna itu punya waktu luang atau sibuk, mulai dari video kontroversial, gambar komik meme, edaran informasi palsu, munculnya pembenci (haters) antara akun satu dengan akun yang lainnya karena sebab unggahan gambar yang dapat terlihat beda pandangan, memicu debat dan berujung saling membenci, setelah kondisi kian keruh apa yang terjadi maka pengguna merasa bahwa tenaga dan waktu terbuang percuma hanya karena meladeni debat kusir yang tidak berhadapan fisik secara langsung yaitu melalui perantara media tersebut.
Dan baru-baru ini kita telah menyaksikannya, pada media sosial sebuah video antara anak-anak yaitu Bus dengan suara klaksonnya yang khas, sempat menjadi puncak informasi bahkan eksis sampai ke mancanegara terbukti beberapa figur pemain sepak bola, artis penyanyi mengunggah ulang konten tersebut dan menjadi headline di berbagai saluran media baik cetak maupun elektronik, walaupun hanya bertahan beberapa saat saja, video ini menjadi arus lalu lintas terpadat yang diakses oleh publik selama tahun 2016.
Hal ini diperkuat dengan apa yang sering diakses oleh pengguna, data APJII dalam 2014 lalu tercatat persentase 87,4 persen media sosial digunakan untuk jejaring sosial, 68,7 persen untuk menjelajah informasi didunia maya dan 59,9 persen untuk perpesanan sosial seperti menggunakan (WhatsApp, Line, BBM dan Facebook Messenger).
Begitu cepat dan mudahnya membawa dampak
Kini transformasi komunikasi telah berubah, mudahnya akses media sosial sebagai ruang komunikasi banyak orang. Apapun yang dibagikan pengguna telah bermain dengan konten, inti dari arus lalu lintas informasi yang beredar, melalui konten berupa teks, gambar dan video, media tersebut cepat dalam membawa dampak bagi penggunanya, kecenderungan cara pandang akan mempengaruhi keputusan, sebagai contoh kasus kita sebagai pengguna saat berselancar pada lini masa media sosial melihat edaran gambar-gambar representasi Image dengan kata-kata yang indah yang disusun demikian, identik selalu meminta kepada pengguna untuk meng-klik "Suka","Komentari" ,"Bagikan",dan berujung menyebarkan, apabila tidak "suka" atau menulis kolom komentar maka seolah-olah yang membaca akan mengalami akibat demikian, justru ini akan membuat demam informasi yang apakah kondisi ini sebuah sugesti keharusan meyakini terhadap informasi dari aktivitas di media sosial.
Padahal, apakah informasi tersebut jelas sumbernya dan sesuai dengan situasi yang ada. Prinsip kendali dan pertimbangan saat mengedarkan informasi ada pada diri pengguna, apakah itu bersifat personal berita ringan maupun kepentingan informasi yang layak disebarkan hingga banyak di akses.
Sebab akses itu menyangkut apakah bersifat Publik, Personal atau Khusus yang masing-masing (Facebook, Twitter, Instagram) memiliki preferensi pengaturannya sendiri-sendiri dan mungkin sebagai pengguna kita tahu itu lebih pada ke akses pembatasan informasi apakah bisa dilihat banyak orang atau hanya kita saja yang mengetahui.