Lihat ke Halaman Asli

Barka: Kegalauan yang Memberontak

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Rahmat Sularso Nh*

*) di sampaikan dalam bedah cerpen Barka karya Siti Sa'adah (Cerpen terhimpun dalam kumcer Hujan Sunyi Banaspati)

Kegalauan, seolah itulah yang memenuhi otaknya dalam sebuah gejolak dalam diri padahal sebenar-benarnya merupakan bertentangan antar pribadi yang telah di kisahkan. Terlepas sejenak kesadaran yang seharusnya selalu terangkul dalam jiwanya, namun seketika itu berhenti dalam hitungan ingatan yang telah kembali ia pun menjadi bekas tak terlepas.

Tidak bermaskud menjadi seorang terapis untuk memberikan pengaruh dengan perantara kata-kata yang seolah mengabsolutekan segala perintah yang telah terucap. Begitualah kiranya usaha dalam memberikan beragam sugesti yang sebenarnya menjadi proses besar keberhasilan dalam membangun suasana jiwa yang sebetulnya hanya di rasakan oleh pribadinya sendiri. Aku mencoba muntuk membagikan endapan terdalam tanpa bisa di jangkau oleh semua manusia. Meskipun dengan keberanian memberikan pengakuan pada dirinya bahwa aku merupakan orang terdekat yang paling mengenalnya. Bahkan setumpuk kenangan yang sudah terjalin bersamanya tidak sanggup menetaskan semua endapan tersebut. Semua pada dasarnya akan kembali lagi kepada pemberi izin, yakni ia yang telah berani dan merelakan membagikan pengalaman dalam sepenggal kisah di kehidupannya. Meski tidak hanya ia sendiri bisa merasakan, tetapi belum tentu rasa yang tercipta mebekas imbas sama.

Usaha dengan kesadaran inilah yang menjadikan sebuh ke karyaan menjadi lebih hidup kembali. Meskipun semuanya masih berawal dari sebuah peristiwa. Ketika menyepatkan membaca cerpen ini seolah memang usaha dengan penuh keyakinan tinggi telah terasa sekali, sebab ia seringkali memberikan penjelasan-penjelasan yang sangat detail dengan pelbagai kronik sunggur menyusun berbagai rangkaian situasi, kondisi, bahkan getaran amarah yang sangat mendentum-dentum dada setelah terbaca dan dipahami. Daya bayang manusia tebatas pada hamparan wawasan yang diperolehnya saat masuk ke dalam sebuah peristiwa atau sengaja membuatnya dengan penuh taktik agar mempunyai kemampuan yang menarik.Oleh karena itu, ia berusaha membisik berbagai hal-hal kecil dalam situasi yang berkecamuk. Ia sepertinya menyadari betul memberikan gambaran tidak saja sekedar wujud fisik yang bisa di bayangkan oleh penikmat Barka. Tetapi mereka juga menginginkan sesuatu yang berbeda tidak sekedar membayangkan wujud seciprat sembilan bulan. Maka dengan memperhatikan detail-detail mepondasikan suasana saat itu, maka mulailah penikmat mulai masuk ke barkah. Ia sangat ringan tangan sekali, memberikan dengan santun berbagai arah yang bisa di gambarkan dalam setiap sketsa-sketsa. Sehingga tidak mengherankan jika dengan sendirinya suasana terbangun dengan bukti menyeretku dalam kegalauannya.

Proses ini tidak sekedar berusaha menimba keringat kemudian mempekaryakan. Melainkan sebuah proses penyadaran kalau penikmat mempunyai hak kuat untuk melihat, merasakan, mendengar, menyentuh, bahkan harus mengalami segala sesuatu yang ada di dalam cerpennya, sebab dengan jalan sedemikian sajalah ia mempunyai kesempatan meyakinkan penikmatnya bahwa telah masuk ke dalam realitas yang di gelayutkan. Sehingga sangat jelas di rasa bila semuanya tidak sekedar dilakukan dengan uraian-uraian nyata, meski selalu ada cara menyampaikan secara langsung. Konotatif-konotatif prakata yang di hidangkan memang menjadi sajian berbeda dengan cara menikmati berbeda pula. Memperkuat penceritaan dengan pelbagai majas pilihan, bahkan kekata khusus yang sengaja di hadirkan sebelum penikmat mengenalnya.

Pengalaman batin yang sudah di alami, sudah mengental pekat. Mengakibatkan penikmat sangat merasakan pemberontakan-pemberontakan mengaum-ngaum seolah singa terkurung akhirnya terlepas. Sebelumya mengakui jejak itu masih ada, bahkan akan menjejak kembali dengan benih. Seperti hentakan “Bukankan kelaminku masih tertinggal di rahimmu?!”, sebenarnya tidak akan membekas bila tidak ada ruang yang terbuka dengan tendensi rasa manusiawinya.Upaya memenuhi keiinginan memasukan penikmat dalam kubangan mengangah perlahan. Tentu upaya itu tidak serta merta usaha, melainkan upaya sudah di pilih dengan menggunakan kata-kata yang menghujam menjadi makna menyadarkan dalam suasana tersebut. Sehingga penggunaan kata-kata sesuai dengan maksud yang di impikan dalam membangun suasana dan mengenalkan pengalaman batin seolah sudah terlaksana. Energi tersebut telah mendorong imajinasi penikmat dengan sengaja dan berakhir menghimpun sendiri atas kemauan penikmat, sudah tidak dipaksakan lagi. Himpunan kronik-kronik yang ia bawa telah berhasil menyeret penikmat berenang dalam gelombang kegalauan memberontak.

Jombang, 24 Pebruari 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline