Lihat ke Halaman Asli

Menulis Itu Memakan

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Rahmat Sularso Nh*

Apakah kita membutuhkan makan? Pertanyaan tersebut seolah tidak layak lagi untuk dipertanyakan pada diri kita, bahkan orang lain. Sudah menjadi sesuatu yang tidak bisa dipungkiri lagi kalau makan merupakan suatu kewajiban untuk seorang manusia. Selain sebagai nutrisi untuk membentuk tenaga baru dalam berkegiatan, makan menjadi pelubas bagi organ tubuh yang tidak berhenti berdasarkan fungsinya. Sebenarnya dalam makan menjadi satu pemahaman proses lain yang bisa dikaitkan dengan landasan dasar bahwa memiliki kesamaaan. Hanya saja pembedanya terletak pada objek yang di fokuskan dalam melakukannya. Menulis sebenaranya sudah di gambarkan dalam proses makan yang dilakukan seseorang. Filosofi makan sudah memberikan gamabaran jelas untuk menulis, sudah sehurnya mempunyai proses yang sama dengan makan.

Filosofi makan pasti tidak bisa langsung saja memakan, melainkan butuh proses mencari bahan makanan, mengolah, selanjutnya menyajikan. Setelah menyajikan tidak bisa langsung begitu saja di makan. Melainkan masih menempuh perjalanan selanjutnya kaitannya dengan tata cara atau adab yang berlaku saat makan. Lazimnya yang dilakukan memang seperti itu ketika perut sudah menyerukan untuk di isi. Sedangkan ketika menulis kenapa harus di andaikan dengan makan? Tidak menyalahkan kalau pertanyaan itu timbul dalam benak dan pikiran bagi mereka yang baru menata niat untuk menulis.

Menulis bisa saja dilakukan siapa pun, meski mereka bukanlah penulis yang sudah terbiasa dan wajib untuk menulis. Melalui berbagai stimulus yang muncul baik dari hasil pengamatan, pendengaran, bahkan bisa saat menjadi tokoh dalam memerankan suatu peristiwa tersebut menjadi bahan menulis. Setalah kepekaan dalam menangkap bahan terkumpul, silahkan menata niat untuk menulis. Apa pun yang dilakukan tanpa ada niat, bagaikan mengangkat sekarung beras saat puasa. Terengah-engah dan malas menjadi diding kokoh yang sulit di tundukan. Maka niat menulis menjadi bumbu penting setelah bahan diperoleh. Paling tidak dengan penataan niat menulis, semangat untuk merangkai kata menjadi kalimat, kemudian kalimat akan membentuk sebuah pargaraf, pada akhirnya akan menjadikan sebuah karangan. Namun jangan meninggalkan peranan asupan bagi diri kita dalam meningkatkan kemampuan menulis, yakni membaca sebagai nutrisi pelengkap yang wajib dilakukan. Analoginya adalah saat menulis, mesti membaca. Sedangkan sesudah membaca, harusnya menuliskan. Begitulah seterusnya akan saling melengkapi pada setiap menulis. Selain itu diperlukan serangkaian diskusi untuk mempertajam wacana serta tulisan kita. Pahamilah, itu bukanlah penghujatan atau mencela tulisan kita. Melainkan proses pendewasaan dalam menulis juga diperlukan. Diskusi menjadi media pilihan dalam mengentaskan tulisan agar lebih berboboi, meski tidak mutlak melalui berdiskusi.

Tampaknya jangan terlalu jauh dalam membuka pandangan kita dalam menulis, kembali menulis itu makan. Sesungguhnya menulis itu mudah seperti kita makan tiga kali sehari. Pilihannya sekarang mau atau tidak. Meski punya keinginan untuk menulis, namun tidak merefleksikan. Terus saja hanya menjadi keinginan yang mengendap dan akhirnya membatu. Menggairahkan motivasi menulis bisa ditemukan di mana saja, seperti di sekitar keberadaan kita saat ini. Sudah menjadi cambuk-cambuk untuk menimba motivasi kita untuk menulis.

Serangkain peristiwa sudah kita perankan kadang hanya terbesit dalam ingatan yang sewaktu-waktu bisa kabur dan tidak akan teringat kembali. Mungkin itu bisa menjadi alasan mengapa kita perlu menulis? Kebiasaan lisan yang kuat di masyarakat kita memang menjadi tradisi mengakar pada generasi selanjutnya. Bukan berarti akan diam saja, dan melanjutkan tradisi lisan. Terbukti sudah tradisi lisan tidak memiliki kekuatan yang konsisten dalam jalinan cerita. Sebab barang bukti nyata tidak ada. Lisan bersumber dari setiap ide dalam kepala, selanjutnya bermura pada pembicaraan yang menghasut telingan lawan bicara kita. Proses seperti itu kebanyakan akan berubah versi dengan sisa ingatan yang masih tertampung dalam kepala. Bisa jadi nama-nama yang ada seperti nama tempat dan tokoh akan mengalami pergeseran. Tahun kejadian pun menjadi bahan yang bisa berubah baik di majukan atau di mundurkan. Oleh karena itu penting untuk di tuliskan semua cerita-cerita yang disampaiakan. menulis mampu menjadi benang merah akan terus terjalin dari periode berikutnya. Walaupun penulisnya sudah tiada, karyanya masih tetap ada sebagai wujud berbagai gagasan yang sudah di tuliskan.

Keraguan-keraguan yang beragam untuk memulai menulis sudah sepantasnya di masukan dalam peti bergembok dan segera di larung ke lautan. Tidak ada lagi keraguan, sebaliknya keyakinan harus terus di semai dalam diri. Aku, kamu, mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk menulis. Mulailah setelah membaca ini, dan mari kita memulai menulis sebagai langkah pencatatan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.

Jombang, 09 Maret 2011




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline