Tanpa kita sadari, selalu ada persaingan dalam hidup khususnya bekerja dengan teman. Hampir semua orang ingin dihargai dan dinilai BAIK oleh banyak orang, termasuk atasan. Dua orang yang berbeda dengan latar belakang yang berbeda dan mempunyai kelebihan masing-masing. Yang lebih tinggi ilmu nya punya gengsi yang lebih tinggi sehingga menganggap dirinya yang paling baik, "sekolah saya lebih tinggi dan gaji saya lebih tinggi, dia hanya sma saja". Padahal dia lupa bahwa keduanya adalah satu team yang harus menunjukkan kinerja yang baik.
Hanya berawal dari gengsi tadi team tadi tidak menunjukkan kinerja yang maksimal. Mungkinkah si dia yang sekolah tinggi mampu sukses ? Mungkin bisa, tapi kesuksesan itu tidak berjalan sendiri dan memerlukan bantuan orang lain. Semua itu sudah diketahui dan dipahami banyak orang, tapi hanya sedikit yang menjalaninya. Yang banyak adalah kontra, yaitu merusak perjalanan sukses orang lain dengan banyak mengkritik dan memprotes kinerja orang lain, "apaan tuh yang dikerjakan ...nggak bener tuh". Si SMA pun dengan rendah hati mau menerima keadaannya, karena mau sombong nggak bisa. Maka mulailah si SMA menyenangi kritikan dan protes atas apa yang dilakukannya. Awalnya sangat menyakitkan dan tidak mau menerima, hanya karena ingin menunjukkan bahwa saya bisa lebih hebat dari si ilmu tinggi. Dia pun mulai berpikir untuk memperbaiki apa yang dikritik, satu kritik telah membangun dia menjadi lebih baik dan berlanjut terus sehingga menjadi tidak ada lagi yang harus dikritik dan si ilmu tinggi sudah kehabisan energi. Si sma sekarang sudah lebih hebat dari si ilmu tinggi bukan dari ilmunya tapi dari apa yang sudah dilakukan yang menjadikan ia dikenal dan dinilai baik oleh banyak orang.
So ... Si "bodoh" tak mampu sombong dan tak mau dibodohin, memacu untuk belajar dengan membuktikan dengan tindakan nyata untuk memperbaiki kekurangannya BUKAN sekedar bicara dengan mengkritik dan protes yang menjadi "hak si pintar". Si "pintar" memainkan ilmunya untuk bicara, menilai dan sebagainya yang membuat dia lupa untuk bertindak. Si "bodoh" memainkan emosinya untuk menambah semangat untuk berpikir logis sedangkan si "pintar" terus berpikir logis memacu emosinya untuk menunjukkan dia hebat.
Sebagai pemimpin ... yang rendah hati, mau menerima kritikan menjadikan ia sebagai pemimpin yang luar biasa. Berterima kasihlah kepada pengkritik yang membuat dirinya sendiri susah dan menderita sedangkan yang menerima kritikan terus menggali menjadi lebih baik. Bukankah kita pemimpin atas diri kita sendiri ? Sudahkah melakukannnya ? ....Itulah kita saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H