Tantangan serius soal penegakan hukum betul-betul tengah dihadapi oleh negara kita. Sederet informasi mengejutkan seputar keterlibatan aparat penegak hukum dalam praktik korupsi dan mafia hukum tidak hanya menimbulkan keprihatinan mendalam, namun juga menimbulkan krisis kepercayaan terhadap institusi hukum itu sendiri meski sebenarnya fenomena ini sudah cukup lama terjadi.
Kasus terbaru yang terkuak tentang mafia hukum di Mahkamah Agung (MA) menunjukkan betapa seriusnya korupsi dalam institusi peradilan. Salah satu pelaku, mantan pejabat di MA berinisial ZR, diduga terlibat sebagai makelar kasus dan ditangkap karena memainkan peran penting dalam suap dan gratifikasi terkait vonis bebas Ronald Tannur di Pengadilan Negeri Surabaya, serta persiapan kasasinya di MA. Ini hanya contoh kecil. Dalam kasus ini, ditemukan rencana suap senilai miliaran rupiah yang melibatkan pengacara dan hakim agung.
Kasus yang melibatkan mantan pejabat MA ini merupakan pengembangan dari tertangkapnya tiga hakim pengadilan tinggi Surabaya yang bersepakat memberikan keputusan bebas terhadap tersangka pembuhunan yang sempat viral dan menciderai rasa keadilan publik.
Dalam kasus yang melibatkan ZR, barang bukti yang ditemukan oleh Kejaksaan Agung terungkap skala besar dari dugaan tindak pidana korupsi.Temuan uang tunai dan logam mulia senilai total hampir satu triliun membuka fakta bahwa telah terjadi permainan tangan - tangan kotor di balik meja hijau.
Kasus ini menggambarkan kompleksitas permasalahan yang sangat serius dan mendalam dalam sistem peradilan Indonesia, khususnya terkait independensi dan integritas lembaga. Praktik korupsi semacam ini tidak hanya mencoreng nama institusi hukum, tetapi juga meluluhlantakkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Ini juga mengindikasikan adanya pola lama dalam korupsi di bidang yudisial, di mana eksistensi makelar kasus masih menjadi hantu yang sulit diberantas. Secara kolaboratif mereka terus memanfaatkan jaringan untuk mempengaruhi putusan hukum demi keuntungan tertentu. Dahsyatnya godaaan materi, minimnya komitmen dan lemahnya integritas bertaut menjadi ancaman yang sangat serius.
Satu sisi kita memberikan apresiasi atas kinerja MA dengan langkah tegasnya yang seolah memberikan sejumput harapan untuk menjadi trigger dan momentum perbaikan menyeluruh. Namun jika di jajaran tertinggi institusi penegak hukum sudah terkoyak bahkan dilabeli sebagai sarang mafia, bagaimana dengan jajaran institusi dibawahnya? Bagaimana dengan institusi penegak hukum di daerah? Bukankan jamak kita dengar aroma korupsi di banyak kasus yang bahkan berujung kriminalisasi menimpa masyarakat?
Tentu kita juga belum lupa terhadap salah satu kasus yang mencoreng kredibilitas institusi hukum atas dugaan pemerasan oleh mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Bagaimana kita bisa mempercayai lembaga ini jika pemimpinnya terlibat skandal? Lantas bagaimana akhir penyelesaian kasusnya hingga kini? Masih hangat pula soal dugaan pemerasan yang terjadi pada masyarakat kelas bawah, seorang guru honorer yang berujung kriminalisasi dan lucunya setelah viral kemudian justru dituntut bebas oleh jaksa?
Masalah ini tidak hanya melukai kepercayaan publik tetapi juga memunculkan pertanyaan apakah integritas masih memiliki tempat di sistem hukum kita?
Sepanjang tahun 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangani ratusan kasus korupsi dengan jumlah tersangka lebih banyak. Kasus-kasus ini melibatkan berbagai pihak, termasuk aparat penegak hukum seperti pejabat eselon di Aparatur Sipil Negara (ASN) dan sejumlah lembaga lainnya.
Statistik penegakan hukum yang melibatkan aparat penegak hukum sendiri cenderung meningkat dan memunculkan asumsi bahwa sedang terjadi peningkatan peran serta masyarakat dan banyak elemen lainnya dalam bentuk pengawasan yang berimbas pada peningkatan kinerja aparat atau bisa jadi juga karena adanya keterbukaan informasi yang semakin baik sehingga berita tentang korupsi menjadi lebih mudah diakses.