Tanggal 9 Februari 2023 kemarin kembali insan pers indonesia memperingati Hari Pers Nasional (HPN). Peringatan HPN yang ke -28 tahun ini di pusatkan di Medan Sumatra Utara (Sumut) dan mengangkat tema "Pers Bebas, Demokrasi Bermartabat."
Banyak pihak mengaharapkan agar puncak peringatan HPN yang dihadiri langsung oleh Presiden Joko Widodo ini menjadi momentum bagi peningkatan kualitas kehidupan pers Indonesia. Bahkan secara spesifik presiden mengingatkan soal pers yang bertanggungjawab.
Presiden menyampaikan bahwa peran utama media kini semakin penting untuk mengamplifikasi kebenaran dan menyingkap fakta, terutama di tengah keganasan post truth, pasca fakta dan pasca kebenaran. Media arus utama diharapkan mampu menjaga dan mempertahankan misinya untuk mencari kebenaran, searching the truth dan membangun optimistisme. (Liputan6.com, 10/02).
Seruan Pers dari Sumut yang dibacakan oleh salah satu wartawan senior membuat HPN 2023 menjadi semakin bermakna. Lima seruan pers yang disampaikan antara lain komitmen moral pers pada pemilu sehingga tidak menjadi buzzer salah satu pihak, komitmen pada kode etik jurnalistik, menjadi garda terdepan dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara, tidak terjebak pada euforia arus informasi sosial media yang sering berisi berita-berita yang kebenarannya susah dipertanggungjawabkan dan mendorong dewan pers untuk selalu menjaga marwah kehidupan pers Indonesia, agar tetap berdiri sebagai pilar demokrasi Indonesia.
Rasa-rasanya dari tahun ke tahun, tidak hanya pada setiap momentum HPN, himbauan sejenis sudah sering kali menjadi pesan moral yang disampaikan oleh berbagai kalangan. Pertanyaanya, mampukah insan pers memaknai setiap himbauan dengan konsistensi dan idealisme? Sejauh mana lima seruan penting dari Sumut menjadi warning atau paling tidak sekadar panduan moral?
Jujur harus diakui, menilai kualitas dunia pers kita masih jauh panggang dari api. Pers masih banyak disorot terutama pada soal independensi dan profesionalisme. Terlebih menjelang tahun politik. Nyaris tak ada pers yang netral. Bahkan sejumlah pihak menilai media adalah penyokong utama kondisi keterbelahan publik.
Menyadari penting dan efektifitas pers sebagai penggiring opini masyarakat membuat banyak pihak yang memanfaatkan media sebagai alat propaganda bahkan alat untuk mendiskreditkan dan membunuh karakter lawan. Keadaan ini sejak lama didukung oleh longgarnya regulasi yang mengatur syarat pendirian perusahaan pers. Lemahnya literasi media masyarakat dan minimnya kontrol dari institusi berwenang seperti Dewan Pers.
Kondisi pers di daerah lebih rumit dan memprihatinkan, bertumbuhnya media baru terutama versi online yang tidak terbendung menjadi persoalan tersendiri. Atas dorongan keinginan untuk berpartisipasi memberikan pengawasan, setiap orang dengan mudah membuat platform digital berupa blog kemudian dimodifikasi menjadi media online dengan menyematkan nama-nama keren serupa dengan media mainstream.
Padahal, menggerakkan perusahaan pers sejatinya tidak murah. Media, baik konvensional maupun digital perlu disokong dengan teknologi yang mumpuni dan bermodal besar. Jika tidak, perusahaan pers akan lebih dalam terseret dalam anomali dan kepentingan pragmatis. Ujungnya, banyak perusahaan pers/ media yang tak mampu memberikan salary atau gaji yang layak kepada wartawan, sehingga tertarik untuk memanfaatkan profesi demi sekedar menyambung hidup. Dalam situasi ini tentu insan pers tidak sepenuhnya bisa disalahkan.
Di ruang redaksi, pers lazimnya dijalankan oleh pemimpin redaksi, para editor, wartawan, penulis, dan sebagainya. Namun sederet nama yang tercantum dalam box redaksi di banyak media online kadang hanya sekedar daftar nama dan formalitas belaka agar tampak layak dipandang sebagai perusahaan pers. Sedangkan konten berita lebih banyak pengulangan atau copy paste. Bahkan tak sedikit dijumpai kasus seorang wartawan menguasai dashbord website sekaligus berperan sebagai editor dan redaktur.