Seperti sudah diperkirakan sebelumnya, seleksi terbuka terhadap 14 jabatan kosong di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bondowoso kembali munuai sorotan tajam. Seperti biasa pula sorotan diinisiasi oleh media yang selama ini mempunyai track record sebagai oposan terhadap pemerintahan yang tengah berjalan.
Adalah hal yang wajar jika elemen masyarakat seperti LSM dan elemen masyarakat yang lain mempunyai kepedulian dan aware terhadap jalannya pemerintahan, hal yang wajar pula jika sebagian masyarakat yang mengatasnamakan pemerhati sosial, pemerintahan dan kebijakan publik juga memanfaatkan media untuk mengemukakan pendapat dan aspirasinya.
Saya tidak hendak melakukan pembelaan diri apalagi berupaya menutupi kesalahan/kecurangan atau konspirasi sebagaimana dituduhkan oleh beberapa pihak. Saya hanya berupaya menggunakan ruang yang sama untuk menggunakan hak dan terdorong oleh kewajiban untuk melindungi marwah, harkat dan martabat seluruh anggota panitia seleksi yang selama ini dikenal luas sebagai orang bahkan tokoh yang menjunjung tinggi integritas, apalagi menyebut nama KASN sebagai lembaga yang selama ini menjalankan fungsi koordinasi dan pengawasan.
Secara substansi apa yang termuat dalam media baik berupa opini maupun produk reportase terasa sangat dangkal dan tidak proporsional. Kenapa? Karena sejak awal memang terasa kental dengan muatan kepentingan dan sama sekali tidak ada itikad baik untuk melakukan konfirmasi secara komprehensif dan faktual terhadap substansi yang dijadikan persoalan dan serasa hanya didorong oleh syahwat untuk tujuan mendiskreditkan dan mendeligitamasi kebijakan. Tujuan akhirnya adalah untuk menggiring opini masyarakat dengan framing negatif.
Contoh konkrit adalah pemuatan opini dengan judul bombastis “Membongkar Borok Pansel Open Bidding 14 OPD Pemkab Bondowoso, KASN Terlibat?” Ditelaah dari judulnya saja sudah bisa ditebak kemana arahnya. Jika ditelisik dari substansinya adalah uraian masalah yang isinya merupakan analisis subyektif dari sekian banyak persoalan yang kemudian disimpulkan sendiri dan belum terkonfirmasi validitas dan kebenarannya. Yang saya keberatan adalah pilihan judul tidak proporsional menjustifikasi pansel yang dituduh secara serius dengan sengaja menabrak aturan.
Pada dasarnya, beropini atau berpendapat merupakan hak asasi manusia sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, demikian yang disebutkan dalam konsiderans UU Pers. Dilihat dari segi hak berpendapat, salah satu peranan pers nasional adalah mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
Namun, secara keseluruhan mengenai hak dan kebebasan tadi, hal yang penting digarisbawahi adalah setiap orang memang memiliki hak dan kebebasan berpendapat, namun, dalam menjalankan hak dan kebebasannya itu, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain juga, serta memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum, demikian antara lain yang ditegaskan dalam Pasal 28J UUD 1945.
Nah atas argumen tersebut, saya hanya ingin mengingatkan kepada semua pihak agar berhati-hati beropini, apalagi hanya dilandasi atas pesanan dan kebencian sepihak, bisa jadi karena opini yang dibuat kemudian memenuhi unsur delik yang menjerat diri sendiri.
Belum lagi jika diteliti dari medianya, Indonesia Pos adalah media online yang sejak lama memposisikan diri sebagai media kritik. Dilihat dari rekam jejaknya sejak awal berdiri, khusus konten pemberitaan lokal lebih banyak berbau sorotan negatif terhadap kebijakan pemerintah, selebihnya adalah berita regional dan nasional yang sifatnya copy - paste hanya untuk menyemarakkan konten. Secara prinsip sebenarnya tidak ada persoalan. Namun seyogyanya sebuah media memperhatikan aspek legal formal sebagaimana ketentuan perundang-undangan. Sebuah media baru dapat dikatakan legal jika sudah terverifikasi baik secara administratif maupun faktual oleh Dewan Pers, sehingga seluruh kontennya lebih akuntabel dan terpercaya.