Dari anggapan miring, 'Untuk apa kepala ditutup (berhijab) kalau hati telanjang?' hingga petuah jawa, 'Totoen niatmu, nduk!.'
Hijab dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti; sesuatu yang membatasi dengan yang lain, tirai, batas. Dalam kehidupan beragama (baca: islam) dimaknai pakaian yang dikenakan perempuam muslim untuk menutupi anggota tubuh bagian atas (kepala). Seiring dengan perkembangan zaman bentuk hijab berfareasi. Lantaran inilah muncul fenomina' hijab kekinian' dengan tujuan pengguna hijab dalam hal ini perempuan tetap nampak elok bahkan erotis.
Bersamaan dengan fenomina ini timbul pemahaman tentang perempuan yang mengenakan hijab tidak semata-mata hanya untuk menjalankan syariat islam. Lebih dari ini, hijab dijadikan sebagai life style, trand, dan sekedar atribut untuk memasarkan suatu produk. Hal ini bisa dilihat dari adanya iklan shampo yang diaktori perempuan berhijab di telivisi. Apabila ditelisik lebih jeli dan teliti iklan tersebut tidak mengajak perempuan muslim berhijab akan tetapi mempersuasif pemirsa untuk memakai merek shampo tersebut.
Terbukti bintang iklan tersebut melepas hijabnya dan dishot rambutnya yang tidak rontok, tidak gerah kepalanya, dan rambutnya tetap kelihatan fresh. Pada saat inilah, terjadi pergeseran nilai, tuntunan sariat mengalami kepudaran esensi, dan menyeruaknya pembelokan niat yang lurus bagi perempuan pengguna hijab. Bahkan sering terjadi perempuan pengguna hijab mengangkangi eksistensi hijabnya dan kadang melacuri kesuciannya sendiri yang selanjutnya mengatarkan pada komudifikasi agama.
Komudifikasi berkaitan dengan peroses perubahan barang dan jasa dari nilai guna menjadi nilai tukar atau bisa dimaknai mengubah nilai fungsi menjadi nilai jual. Jadi bila hijab dipakai sekedar untuk tampil stylist atau untuk mempersuasif terhadap suatu produk pada hakikatnya sudah melakukan komudifikasi agama. Konsekuwensinya, ajaran-ajaran agama krisis amaliyah, kalaupun diamalkan hilang kemurnian niat pelakunya. Padahal dalam kacamata agama tertentu (baca: islam) niat melebihi dari segalanya dan menentukan hasilnya.
Apabila komudifikasi agama diterka sebagai status quo yang harus bahkan wajib ada maka agama dan ajarannya akan diperjual-belikan, pun agama tak ubahnya seperti barang atau sejenis produk murah dan murahan yang bebas serta bisa dinegosiasi dengan dan oleh kertas tipis (baca: uang). Kalau macam tersebut sudah mengakar kepada pemeluk agama (baca: pengguna hijab) maka tinggal menunggu waktu untuk melepas hijab tersebut. Semuga saja tidak dan jangan sampai!.
Selanjutnya mencuat anggapan miring -buat apa kepala ditutup (berhijab) kalau hati tidak berhijab- dan diimani oleh individu yang pengetahuan keagamaannya terjangkit virus paham nihilisme yaitu paham yang mengatakan tidak ada sesuatu yang dapat diketahui atau mempunyai nilai-nilai. Memang secara sepintas anggapan miring tersebut -kalaupun tidak sah- bisa dibenarkan. Oleh sebab itu penting merenungi dan mengimplentasikan esensi petuah jawa berucap, 'Totoen niatmu, nduk! (tatalah niatmu, nak!).'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H