Lihat ke Halaman Asli

Ketika Manusia Kampus Berhasrat Rendah

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

KETIKA MANUSIA KAMPUS

BERHASRAT RENDAH

Budaya akademik kampus saat ini sangat memprihatinkan, begitu bunyi tajuk Suara Merdeka (3/1). Hal senada juga diungkapkan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Komarudin Hidayat, pragmatisme politik praktis, budaya mafioso telah merusak budaya ilmiah akademik kampus.

Akademisi meninggalkan budaya mendidik dan meneliti. Dan “mengamenkan” kapasitas intelektualnya ke beberapa partai politik dan beberapa wadah sembari berharap dapat “sharing-profit”, ironisnya lagi sebagian menggadaikan harga diri akademisi dengan berperilaku layaknya “para gangster”, tubruk sana tubruk sini, melegalkan segala cara demi setumpuk materi. Mereka menjelma menjadi sosok anarkis-akademis yang berperilaku preman-akademik. Mereka berpihak kepada Keuangan Yang Maha Kuasa. Mereka menjadi sosok Dursasana, satria Banjarnunut putra dari Prabu Drestrarasta yang berwatak tidak baik. Rendah budi, bertindak asusila, suka merekayasa dan jika memiliki keinginan harus terwujud walaupun menghalalkan segala cara.

Alih-alih melayani kepentingan masyarakat kampus, mereka lebih memilih melayani kepentingan penguasa-penguasa yang menjadi tuannya. Mereka ini menjadi corong pembenar (sound of cangkem) ilmiah dari kebijakan-kebijakan yang menindas kepentingan-kepentingan masyarakat kampus. Mereka mendua dalam dunia yang berbeda. Dunia hitam-kelam dan dunia kampus menjadi abu-abu, karena ketidakjelasan, inkonsistensi mereka memposisikan dirinya. Mereka ndakik-ndakik berwacana tentang perubahan berarti bagi kampus. Namun disaat yang sama mereka menjadi tikus-tikus pengerat yang menggerogoti kredibilitas keshalihan kampus sebagai dunia ilmiah akademik.

Dalam The Culture Of Industry (1991) Theodor Adomo mengatakan budaya komoditas yang berbasis kebutuhan rendah hanya akan menghasilkan wujud budaya yang absurd, naif dan dangkal. Sifatnya pun hanya materi di permukaan. Di dalamnya lebih mementingkan budaya lipstik, penuh daya tarik, keterpesonaan yang bersifat temporer.

HASRAT RENDAH

Budaya ini untuk memenuhi hasrat rendah manusia termasuk hasrat sebagian akademik yang nyambi menjadi broker, pialang proposal dan sebagian lagi menikmati minimal menjadi bagian dari kue kekuasaan dengan meninggalkan budaya mendidik dan meneliti.

Tradisi akademik ilmiah  kampus roboh karena ulah manusia-manusia kampus (rektor, dosen dan mahasiswa). Mereka menjadi layaknya bintang iklan yang menghamba pada hedonisme. Sekarang ini kampus ibarat etalase toko serba ada yang memajang barang keluaran terbaru. Mobil keluaran terbaru, motor paling up date, handphone blackberry yang ber-touch screen, laptop teknologi terkini dan fashion terbaru daripada ide-ide atau gagasan-gagasan kreatif dari manusia kampus.

Akibatnya kampus sepi bahkan kering dari pemikiran dan tindakan kritis para penghuninya. Manusia kampus menjadi penikmat (gaya, pengetahuan dan teori) ketimbang menciptakannya. Mereka menjadi homo fatalis. Manusia yang terlena, terbuai terhanyut dalam logikanya sendiri. Kemaruk, menyerap dan menghisap apa saja yang disodorkan ke hadapannya membabi buta tanpa mampu menganalisa, mengkritisi dan memaknainya secara jernih.

KOMPAS KAMPUS

Padahal masyarakat dan bangsa menunggu karya para manusia kampus. Sebagai kaum cendekiawan manusia-manusia kampus memiliki dua tugas. Pertama, menanggapi tanda-tanda perubahan zaman dengan pemikiran dan tindakan yang kontributif. Mereka ini dituntut untuk menjadi trend-setter bagi arah kemajuan.

Kedua, sebagai kompas, penunjuk arah dan pelopor kemajuan bangsa, bukan mempelopori kemajuan dan kemakmuran bagi dirinya sendiri dan kroco-kroconya. Peran ini termasuk beban berat karena menuntut manusia-manusia kampus menjadi seorang intelektual organik, sebagaimana disitir oleh Bonnie Eko Bani pada Harian Suara Merdeka (7/1).

Dalam konteks ini menumbuhkan kreatifitas, kemandirian dan semangat kewirausahaan pada diri mahasiswa merupakan contoh-contoh bagaimana seharusnya dunia kampus harus dibangun dan ditumbuhkembangkan. Berkarya melayani kepentingan mahasiswa bukan lantas menggadaikan, melacurkan nilai-nilai keshalihan akademik. Masyarakat tengah menunggu karya akademik kampus, mereka tidak berharap harus fenomenal dan monumental,cukup bagi masyarakat adalah perhatian para manusia kampus untuk menjabat dan menggenggam erat tangan mereka melangkah bersama-sama kearah kemajuan.

Lalu, bagaimana dengan kita ?......




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline