Pancasila dan Tantangan Globalisasi
Dalam sejarah perjuangan pancasila dari awal dibentuknya, pancasila membuktikan diri sebagai cara pandang dan metode ampuh bagi seluruh bangsa Indonesia untuk membendung trend negatif perusak asas berkehidupan bangsa. Tantangan yang dahulu dihadapi oleh Pancasila sebagai dasar negara, jenis dan bentuknya sekarang dipastikan akan semakin kompleks dikarenakan efek globalisasi. Sebagai suatu entitas yang terkait dalam budaya dan peradaban manusia, pendidikan di berbagai belahan dunia mengalami perubahan sangat mendasar dalam era globalisasi. Ada banyak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa dinikmati umat manusia. Namun sebaliknya,kemajuan tersebut juga beriringan dengan kesengsaraan banyak manusia.
Dengan perkembangan Informasi yang begitu cepat, tantangan yang diterima oleh ideologi pada saat ini juga menjadi sangat luas dan beragam. Sebagai contoh, beragam kasus dan pelanggaran HAM di Indonesia seperti terorisme, rasisme, mainstream, diskriminasi dan tindakan-tindakan kriminal yang terkadang menjadi alasan pemicu konflik horizontal antar umat beragama serta ekonomi yang mulai berpindah dari sistim kekeluargaan menjadi wujud tidak terimplentasinya dengan baik nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana diamatkan oleh pancasila.
Tantangan Kemanusiaan
Tantangan kemanusiaan baru (humanity) yang pertama berkenaan dengan filsafat yang kedua adalah ilmu dan teoretisasi, dalam hal ini teori sosial dan politik, terutama konsep teoretis berbasis epistemologi alternatif. Tantangan kemanusiaan baru yang ketiga berkenaan dengan kesadaraan moral. Untuk memperbaiki keadaan galau tata gaul indonesia, perlu adanya aksi dan manifesto atas dasar moralitas baru, semisal Manifesto Einstein Russel.
Tantangan untuk menculnya humanitas baru di atas adalah untuk mengatasi berbagai gejala kebangkrutan keadaban (civility) manusia modern masa kini. Humanitas baru menolak nilai otonomi manusia berlebihan; bukan pula sekedar nilai rasionalitas dan intelektualisme seperti dikehendaki oleh Julien Benda, yang mengritik dunia seni Eropa awal abad ke-20. Humanitas baru di sini juga bukan yang disodorkan oleh paham atau filsafat yang "meminggirkan" ide esensial dan keyakinan primordial agama yang asasi: dari Humanisme masa lampau, 1933, (Humanist Manifesto I) bukan pula dicukupkan dengan Humanisme masa kini untuk menyongsong abad ke-21 dari Hunanist Manifesto I.
Meski banyak hal disepakati juga oleh "humanis religius" yang juga ikut menandatangani manifesto ini, namun problem statement kemanusiaannya belum mencakup kesadaran tentang kerusakan lingkungan akibat pendekatan salah dalam politik pembangunan. Kedua, para ideolog humanis ketika mengidentifikasi problem krisis kemanusiaan sepertinya "gelap mata" untuk tidak memberi kritik bahwa aktor-aktor penghancur peradaban adalah termasuk praktek buruk koporatisme global dan ideologi Pasar (Zamhari & Sazali, 2017: 6474).
Menurut Yudi Latif dalam bukunya yang berjudul "Wawasan Pancasila" bahwa meningkatnya kecenderungan eksklusi sosial itu secara eksternal mencerminkan dekadansi nilai-nilai keadilan dan keadaban dalam relasi kemanusiaan universal era globalisasi dan secara internal mencerminkan lemahnya pemahaman, penghayatan, dan pengalaman masalah hak-hak asasi manusia (HAM). Kemunduran nalar etis karena demokrasi padat modal menjadikan hampir semua hal dikonversikan kedalam nilai uang.
Dimana tatkla uang menjadi tuan, sedang sebaran uang tidak merata, kelompok-kelompok yang merasa tersudut secara ekonomi dan politik cenderung mengembangkan mekanisme defensif dengan mengonsolidasikan kekuatan-kekuatan tribus fundamentalisme, etnosentrisme, dan premanisme. Semakin meluasnya sentimen-sentimen tribus inilah yang kemudian dimanfaatkan para aspiran kekuasaan untuk meledakannya dalam kobaran populisme (Yudi Latif, 2018: 200).
Negara dan Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)
Sebagai negara hukum, perlindungan terhadap HAM, menuntut kesamaan setiap manusia di depan hukum, tiada kesamaan akan menyebabkan satu pihak merasa lebih tinggi dari pihak lainnya. Situasi demikian merupakan bentuk awal dari anarki yang menyebabkan terlanggarnya HAM. HAM pada hakikatnya adalah hak-hak yang dimiliki oleh setiap manusia dan berhak dinikmati semata-mata karena ia adalah manusia. Hal itu telah diatur dalam The Universal Declaration of Human Rights, selanjutnya disingkat dengan UDHR.