Lihat ke Halaman Asli

Istana Pasir

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Menapak jalan berduri, menyingsing lengan baju berjibaku melawan waktu untuk sebuah cita yang tak kunjung tiba. Semangat itu terus menyala seperti dian yang tak kunjung padam, menerangi langkah-langkah kaki berirama dalam hitungan satu dua. Kutoleh kanan dan kiri, wajah-wajah kelelahan, namun tak ada penyesalan berjalan dalam rentang zaman panjang. Apa yang ada di benak kami? sebuah asa yang melangit menembus batas waktu antara kefanaan dan keabadian. Terus...terus seperti itu, sebab hanya dengan ini kami yakin bisa sampai kesana, sebab kami yakin hanya jalan ini yang membuat kami tiba di tujuan. Seperti itu adanya berjalan bersama waktu dengan imaji istana megah menjulang dengan segala isi melampaui batas kenikmatan yang tak mampu lagi ditampung akal manusia, seperti bilangan tak terhingga dalam matematika.

Istana itu istanaku, aku menikmati istanaku, menelusuri setiap lorong-lorong bermandi cahaya dengan para penjaga setia dan perempuan-perempuan yang kecantikannya membuat tsunami bagi jiwa-jiwa perindu bidadari. Istana itu istanaku, kokoh menjulang menantang langit, mengalahkan kekokohan material bangunan dari seluruh penjuru dunia.

Aku meraih cawan rasa, mereguk isinya dan terbang dilangit-langit istana, mengambang tanpa lepas kendali. Kepedihan, kesedihan, kemunafikan, prahara jiwa dan antar jiwa terhapus oleh kenikmatan tiada tara, oleh harapan bahwa kenikmatan yang sama pun ada pada mereka yang berjalan di kanan dan kiriku

Namun ketika tubuhku melayang turun kembali ke lantai berhiaskan emas, aku tenggelam. Lantai itu memakan tubuh dan jiwaku, menikmati setiap inci tubuhku yang kecil, istanaku kuburanku, membawaku hanyut bersama lelehan asa ke samudra tak bernama. Di ujung muara aku tersadar, ternyata istana itu adalah istana pasir yang terbangun di atas tanah fatamorgana.

Istana pasir tak berbentuk kini, serupa gundukan tanah kuburan yang hanya bermakna satu; bahwa kesempatan membangunnya sudah tak ada. Biarkan, biarkan waktu bermuram durja. Lakon sejarah memakai topeng kebenaran berlomba membangun istana pasir diatas fatamorgana pemikiran dan perasaan,

Biarkan aku membangun rumah mungil nan sederhana, namun mampu menampung sekian banyak musafir yang berserakan dijalan-jalan mencari tempat berteduh dari keganasan para penjagal nurani, sebab ia kubangun dari tetesan demi tetesan air mata harapan dan cinta. Disini di rumah mungil ini, kan kujamu kau dengan cinta, sebab hanya itu yang bisa membuat DIA selalu tersenyum kepada kita.

***Kulihat kekanan dan kekiri, wajah-wajah kelelahan, wajah-wajah pasrah, berhentilah berharap dari istana pasir yang kau bangun dari imaji pikiran dan perasaan. Tinggalkan dia, yang membuat hatimu kelelahan memburu istana itu, yang dijualnya di etalase kemunafikan berhiaskan ayat-ayat suci dan doktrin kebenaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline