Beberapa pemberitaan di media saat ini begitu gencar menyampaikan tentang desakan pelaksanaan pemanfaatan bersama fasilitas yang disebut open access dan juga pemisahan badan usaha pelaksana kegiatan usaha pengangkutan dan usaha niaga pada perusahaan milik negara di bidang energi yaitu PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atau yang sering disebut sebagai PGN. Pihak – pihak yang terus menyuarakan kedua hal tersebut seperti perwakilan Kadin menyampaikan manfaat yang dapat diperoleh saat kedua ketentuan tersebut diimplementasikan. Antara lain membuat industri dapat memiliki tambahan pasokan gas, karena saat ini banyak Trader yang sudah memiliki alokasi gas tidak dapat menjual ke industri karena infrastruktur gas yang terhubung ke industri tersebut adalah fasilitas tertutup milik perusahaan milik negara tersebut. Atau adalagi manfaat misalkan dapat menurunkan harga gas di konsumen karena harga gas saat ini yang ditetapkan oleh PGN terlalu tinggi dan cenderung merugikan industri. Berita begitu gencar menyeruak dalam media dan sebagai publik, melihat kondisi tersebut seakan-akan penerapan open access dan unbundling ini adalah suatu hal krusial dan begitu esensialnya sehingga dapat menjadi solusi atas kondisi kekurangan gas bagi Industri dan tidak kompetitifnya industri kita di persaingan regional dan internasional karena tidak memiliki suatu kesempatan untuk bisa memanfaatkan sumber energi yang murah dan bersih berupa gas ini. Kesan yang didengung-dengungkan di media sekarang ini seakan-akan seluruh industri di Indonesia menuntut hal yang sama dan perusahaan milik negara di bidang gas ini yaitu PGN menerapkan monopoli yang merugikan masyarakat.
Tidak Semua Melihat Open Access dan Unbundling Itu Penting
Hal menarik yang terjadi dan saya perhatikan beberapa waktu ini adalah ketika saya mendapatkan kesempatan untuk ikut hadir ke Medan dalam suatu pertemuan terbuka yang digagas oleh DPD RI dan para kalangan industri seperti Apindo, Apigas disana. Pertemuan terbuka ini adalah Forum untuk menyelamatkan industri di Sumatera Utara dari Krisis Gas. Dalam pertemuan ini dihadiri oleh Anggota DPD RI Sumatera Utara Komite II yang membawahi masalah energi, Kadistamben Sumut, PLN, PGN, Pertagas Niaga dan ICW sebagai narasumber dan puluhan peserta yang terdiri dari Industriawan, ketua serikat pekerja, wartawan dan juga mahasiswa. Pertemuan yang begitu penting dan dalam diskusi yang berjalan menunjukan diskusi yang panas dan penuh kekecewaan. Apa yang terjadi di Medan?
Berita yang terjadi di Medan sepertinya tidak semenarik dan semeriah pemberitaan mengenai tuntutan open access dan unbundling bahkan sulit sekali untuk muncul sebagai isu nasional yang hangat dibicarakan secara nasional. Medan saat ini dalam kondisi krisis gas, namun sulit untuk menyatakan dan mengkonfirmasi ke-krisis-an ini karena kita masih belum memiliki parameter dan proses penangggulan kondisi darurat. Peraturan Pemerintah yang mengatur masalah ini masih dalam penggodokan di Dewan Energi Nasional atau DEN. Bila tidak metode untuk mengkonfirmasi kondisi medan sebagai krisis, maka saya akan menggunakan kata Kritis. Kondisi Medan saat ini sudah Kritis dan sekarat. Setidaknya itu yang saya lihat. Medan saat ini sudah mengalami penutupan lebih dari 3 perusahaan, 2 perusahaan tidak beroperasi dan 1 perusahaan harus beralih ke bahan bakar lain karena tidak ada ketersediaan gas. Akibat dari ini lebih dari 5000 pekerja sudah di PHK. Investasi di medan yang sebelumnya memiliki potensi investasi lebih dari 900 Milyar sampai dengan saat ini tidak ada sepeser pun yang digelontorkan oleh investor. Bagaimana menarik untuk melakukan investasi saat ini di Medan dengan kondisi krisis energi. Ketersediaan energi adalah syarat utama untuk melakukan investasi sebagai jaminan keberlanjutan operasi dari investasi yang dilakukannya.
Di Medan, krisis energi terjadi dalam bentuk krisis listrik dan gas. Medan saat ini mengalami pemadaman listrik sehari sebanyak 5 kali. Dan bayangkan berapa kerugian dari kondisi ini karena sekali pemadaman bisa berjalan selama 2 sampai 4 jam. Tidak lebih baik kondisi krisis gas, saat ini Medan memiliki pelanggan industri yang menggunakan gas dengan kebutuhan 22 MMSCFD namun gas yang tersedia hanya 7 MMSCFD. Tidak semua bisa menggunakan gas karena kemampuan penyaluran yang begitu sulit dengan ketersediaan begitu minim. Banyak industri terutama yang berupa industri dengan kategori Noble User (Pengguna yang harus menggunakan gas seperti gas untuk bahan baku atau bahan bakar yang dalam prosesnya bersentuhan langsung dengan produk seperti industri kaca) harus menutup operasinya atau akhirnya bangkrut. Beberapa industri harus mengganti bahan bakarnya dengan bahan bakar yang lebih mahal seperti BBM atau LPG. Memang mereka bisa beroperasi dengan alternatif bahan bakar ini tapi bayangkan apa arti competitiveness bagi mereka. Tetangga kita Malaysia, industri disana dapat menggunakan bahan bakar dengan harga hanya 4-5 USDD/MMBTU bagaimana kita bisa bersaing bila menggunakan BBM seperti solar yang bisa mencapai 27 USD/MMBTU atau LPG? Lupakan masalah membangun keunggulan daya saing industri domestik dengan kondisi ini.
Dalam diskusi panas ini, banyak sekali dilontarkan ungkapan kekecewaan dan kemarahan atas kondisi krisis energi yang terjadi di Medan saat ini dirasakan begitu lambatnya upaya penyelesaian dari pemerintah. Memang sulit untuk menerapkan suatu prosedur penyelamatan dari kondisi darurat bila arti darurat energi sendiri masih kita definisikan terlebih lagi prosedur tanggap darurat energinya. Dalam diskusi ini mereka mencoba menganalisis akar permasalahan dan penyebab terjadinya krisis energi atau krisis gas di Medan ini.Industri Medan menyatakan kekecewaan dan ungkapan bahwa mereka sudah lelah dibohongi berulang kali.
Kenapa berulang kali? Ini juga menarik perhatian saya. Ternyata krisis gas yang terjadi Medan ini sudah berlangsung berulang kali. Seperti krisis gas di tahun 2001 yang menyebabkan banyak industri juga tutup. Saat itu solusi yang dijanjikan adalah pembangunan pipa transmisi Duri – Dumai – Medan yang membawa pasokan gas dari Sumatera Selatan. Namun proyek itu kandas karena perencanaan mengenai pasokan gas tidak jelas, tidak sinergis dengan upaya penanggulan krisis saat itu. Krisis berikutnya yang memperparah kondisi tersebut terjadi di tahun 2006-2008. Dampak dari krisis ini pun parah (memperparah). Solusi saat itu direncanakannya pembangunan FSRU (Floating Storage Regasification Unit/ LNG terminal terapung) Belawan yang memberikan kemampuan Medan untuk menerima pasokan gas dari mana saja baik dari dalam maupun luar negeri dalam bentuk LNG. Medan sempat merasa tenang karena dengan adanya fasilitas penerima LNG ini maka Medan akan memiliki kemandirian untuk memperoleh pasokan gas tanpa ketergantungan pada infrastruktur pipa. Namun apa yang terjadi di tengah konstruksi fasilitas tersebut, Meneg BUMN melakukan kompetisi proposal pembangunan infrastruktur gas ini, yaitu dengan menyeruaknya ide Revitalisasi Arun dan pembangunan pipa dari Arun – Belawan untuk penyediaan gas di Medan. Alasan yang disampaikan mengapa proposal baru ini layak untuk dipertimbangkan sebagai pengganti adalah dapat menjadi bentuk optimalisasi aset pemerintah yang besar di Arun yang saat ini sudah tidak bisa lagi memproduksi LNG sehingga diubah menjadi penerima LNG dan juga upaya meyakinkan dari pengusung proposal bahwa proyek ini akan selesai pada waktu yang sama bila FSRU Belawan ini diselesaikan yaitu Q3 2013. Selain itu dijanjikan bahwa biaya proyek ini setidaknya akan sama biayanya dengan proyek FSRU Belawan.Meneg BUMN memutuskan proyek tandingan baru ini yang memenangkan kompetisi proposal pembangunan infrastruktur dan FSRU Belawan harus dipindahkan ke Lampung.
Dampak dari keputusan ini proyek FSRU dihentikan dan direlokasi ke Lampung. Yang menarik adalah kebutuhan adanya FSRU di Belawan adalah Instruksi Presiden melalui Inpres, Pembatalan oleh Surat Meneg BUMN, Perencanaan Strategi Energi baik penyediaan dan perencanaan infrastrukturnya ada di Menteri ESDM bukan di BUMN. Secara internasional banyak yang menilai hal ini menjadi preseden negatif. Namun terlepas dari dilema tersebut yang harus diselesaikan secara nasional, kenyataan yang terjadi adalah Proyek Arun – Belawan dipastikan tidak akan selesai Akhir 2013, demikian disampaikan oleh Pertagas Niaga yang mewakili Pertamina. Bahkan dinyatakan akan mulai commissioning di Oktober 2014. Dengan kondisi ini maka Medan akan mengalami krisis lebih panjang lagi. Sontak respon dari peserta diskusi begitu kencangnya, salah satunya datang dari pegawai Pabrik oleochemical yang harus dirumah sejak 4 bulan lalu menyatakan kekecewaan dan kemarahannya. “Saya sudah empat bulan dirumahkan, setiap bulan ke kantor menerima uang tanpa bekerja karena tidak adanya gas. Berharap akhir tahun 2013 menjadi lebih baik dan kondisi saya berubah. Dan dengan entengnya bapak menyatakan mundur menjadi Oktober 2014?”, setidaknya itu bahasa yang saya tangkap dari ungkapannya. Belum lagi beberapa peserta menyampaikan ketidakyakinannya bahwa proyek revitalisasi Arun, dan pembangunan pipa lebih dari 300 km ini akan selesai di tahun 2014. Belum lagi adanya informasi biaya untuk investasi ini naik lebih dari 2 kali lipat dibandingkan saat dahulu dikompetisikan. Informasi ini perlu diklarifikasi dan semoga saja salah.
Ada suatu kondisi ketidakpastian ketersediaan gas sampai akhir 2014 (bila benar-benar selesai proyek Arun – Belawan) dan arti dari ketidakpastian ini buat industri di Medan adalah tentang hidup mati industri. Berapa lama lagi industri mampu bertahan dengan kondisi beroperasi dengan bahan bakar mahal atau membayar gaji pegawai yang dirumahkan tanpa adanya produksi. Kita melihat ancaman PHK yang jauuuh lebih besar lagi. Dalam diskusi panas tersebut, terselenting sedikit atau beberapa kali isu mengenai tuntutan open access dan unbundling yang diminta untuk diimplementasikan oleh perusahaan milik negara yaitu PGN. Berharap bahwa tema open access dan unbundling ini menyeruak dan menjadi sama pentingnya dengan yang terjadi di media saat ini dan menambah tekanan dapat direalisasikan dengan cepat. Namun apa yang terjadi kata-kata open access dan unbundling yang merupakan konsep operasionalisasi pengelolaan gas ini tidak menarik sama sekali dan tidak ditanggapi. Industri sedang diujung keberadaannya dan kita membicarakan perkara hidup dan mati. Komentar utama meraka mengenai open access dan unbundling ini kurang lebih dapat dipahami dari penyataan mereka yaitu “Saya hanya ingin gas di Sumut ada dan murah! Entah dengan cara apapun!”.
Open access dan Unbundling tidak penting bagi mereka, yang terpenting adalah ketersediaan gas untuk melanjutkan operasi mereka. Dari kondisi ini banyak sekali hal yang bisa kita refleksikan mengenai kondisi Indonesia dan pengelolaan gas bumi nya.
Refleksi Medan Dan Pengelolaan Gas Bumi Indonesia
Bila krisis di Medan terjadi berulang kali maka permasalahan ini bukan timbul sebagai bentuk kesalahan atau ketidaktepatan pengelolaan kegiatan operasional. Tapi pasti berasal dari permasalahan yang lebih bersifat fundamental. Bila kesalahan operasional penanganannya bisa sederhana dan tidak akan berulang. Namun bila permasalahannya fundamental maka penyelesaian operasional tidak akan menyelesaikan. Saya berpendapat beberapa permasalahan fundamental tersebut antara lain yaitu:
1.Tidak ada sinergi dan sinkronisasi antara perencanaan pasokan gas, pengembangan infrastruktur dan pengembangan pasar dalam pengelolaan gas kita.
Kondisi krisis gas berarti kondisi saat pasokan gas yang tersedia berada di bawah kebutuhan yang ada. Kondisi ini tidak terjadi secara tiba-tiba dan bisa diprediksi untuk diantisipasi. Begitu mudah bila mengetahui profil produksi gas dan profil pemakaian gas. Disuatu titik mereka bertemu itu menandakan titik kritis menuju defisit gas. Pada saat itu harusnya perencanaan pasokan dan perencanaan infrastruktur sebagai enabler penyediaan gas sudah dapat dilakukan. Pembangunan infrastruktur menjadi terikat waktu atau time bound demikian juga penyediaan pasokan, jika tidak krisis dijamin terjadi.
Selain sinkronisasi, kita kehilangan sinergi. Perencanaan energi baik ketersediaan gas dan infrastrukturnya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya seharusnya di pimpin atau dikoordinasikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Seluruh kementerian lain berfungsi mendukung dan mendorong ESDM dalam permasalahan ini. Tidak ada overlap atau hal lain yang berdampak negatif.
2.Tata Kelola Gas kita tidak kondusif dan sesuai dengan urgensi kita saat ini.
Bila kita berbicara konteks Indonesia dan permasalahan yang terjadi di Medan ini, maka permasalahan yang Indonesia hadapi saat ini adalah permasalahan kebutuhan primer dalam pengelolaan gas bumi. Yaitu permasalah di Medan adalah tentang ketersediaan gas di sana. Bagaimana caranya mengadakan gas di Medan sehingga disana dapat beroperasi dengan baik dan tidak ada krisis. Mengapa dalam penyediaan gas ini Medan masih sangat terbatas dan memiliki banyak keterbatasan? Hal ini dikarenakan Medan sebagai suatu pasar gas berada dalam kondisi terisolasi. Pasar gas Medan tidak terhubung dengan pasar gas manapun di Indonesia baik dengan Pasar gas di Batam, Sumatera Selatan, Jawa Barat atau Jawa Timur. Pasar Gas Indonesia belum terinterkoneksi sehingga terjadi kejomplangan antar Region di Indonesia. Ada daerah yang surplus dan adanya defisit gas. Isunya dimana infrastruktur gas untuk mengintegrasikannya.
Urgensi kita saat ini di Indonesia dalam hal pengelolaan gas adalah pemenuhan kebutuhan primer, seperti Penyediaan Infrastruktur Gas. Untuk menggambarkan urgensi ini sebagai ilustrasi yait Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang baik dan pertumbuhan ini berarti pertumbuhan konsumsi energi. Pertumbuhan konsumsi energi berupa gas diproyeksikan dengan proyeksi bauran energi di tahun 2025 yang akan melompat dua kali lipat dari konsumsi kita saat ini. Untuk dapat memenuhi kebutuhan gas yang membesar ini kita membutuhkan 10 kali lebih panjang pipa distribusi dari yang kita miliki saat ini dan 2 kali lebih panjang pipa transmisi yang ada sekarang. Permasalahannya tahun 2025 itu tinggal 12 tahun lagi! Apakah mampu membangun 40.000 Km pipa distribusi dalam waktu 12 tahun? Apakah bisa dilakukan dengan skema saat ini?
Berbicara open access dan unbundling, semua orang memahami (Setidaknya praktisi gas dan juga ekonomi secara internasional) bahwa kedua konsep tersebut adalah bentuk liberalisasi industri gas yang diimplementasikan dibanyak negara seperti Eropa sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi pengelolaannya di kondisi seluruh infrastruktur gas sudah terbangun dan seluruh pelanggan sudah terhubung dengan infrastruktur. Pelaksanaan kedua konsep tersebut diharapkan menjadikan pasar lebih terbuka dan kompetitif sehingga pengelolaan gas di pasar eksisting tersebut menjadi lebih efisien. Skema ini adalah bentuk kebutuhan Tersier. Tidak heran saat di Medan terungkap pernyataan bahwa mereka tidak peduli dengan open access dan unbundling, yang mereka inginkan hanya gas tersedia di sana. Mereka menuntut sesuatu yang menjadi kebutuhan primer.
Pemahaman mengenai pada kondisi apa Indonesia berada saat ini sangat penting sekali (bentuk hiperbolik ‘sangat....sekali’ untuk menunjukan begitu krusial dan dampak yang dahsyat bila salah memahami) karena pemilihan skema pengelolaan gas akan berdampak jangka panjang dan besar. Berdampak pada ketahanan energi nasional dan juga keunggulan daya saing nasional kita.
Saat ini tuntutan open access dan unbundling terlihat jelas didorong oleh para pemilik gas yang tidak memiliki infrastruktur yaitu Trader yang kesulitan untuk menjual gas karena tidak ada infrastruktur gas yang dapat dipakai untuk mereka berjualan. Ketentuan yang ada menyatakan bahwa trader adalah harus menjual melalui pipa yang open access. Namun bila belum tersedia pipa yang open access maka sebenarnya mereka dapat membangun pipa yang dikategorikan pipa dedicated hilir, demikian ketentuan dalam Permen ESDM No. 19 Tahun 2009 mengatur. Pasar yang membutuhkan gas masih besar di Indonesia karena infrastruktur gas yang terbatas tadi sehingga tidak bisa menjangkau industri-industri yang tersebar di Indonesia. Pasar gas seperti Semarang, Bandung, Kendal, Solo, Kalimantan, Sulawesi masih terbuka lebar karena meraka masih menggunakan BBM yang harganya bisa mencapaidua kali lebih mahal dari harga gas. Namun membangun infrastruktur gas bukan perkara mudah karena berisiko dan membutuhan investasi begitu besar dengan tingkat pengembalian yang lama (karena pasar membutuhkan waktu untuk tumbuh). Sehingga pilihan membangun infrastruktur gas ke pasar baru bukan opsi menarik bagi para pebisnis murni. Maka pilihan paling bijak secara bisnis adalah bila harus membangun pipa maka di area yang hanya membutuhkan sedikit pipa, ini berarti di pasar eksisting dekat dengan pipa open access yang sudah ada, tapi opsi paling menarik secara bisnis yang pertama adalah apabila bisa langsung berbisnis tanpa harus membangun infrastruktur. Inilah yang menjadi motivasi untuk meminta agar pipa eksisting yang dedicated milik perusahaan negara yaitu PGN untuk dibuka untuk swasta.
Karena ketidakmampuan menjual gas ini, Trader banyak yang berusaha untuk melakukan penjualan kembali kepada trader lain (atau untuk motivasi yang lain). Karena dalam kontrak jual beli gas atau GSA (Gas Sales Agreement) ada ketentuan bernam Take or Pay (ToP) yang berarti komitmen untuk membeli gas di jumlah tertentu kepada produsen gas. Bila anda gagal mengambil sejumlah gas yang ada pesan maka anda tetap membayar sesuai jumlah gas yang ada pesan. Misalkan berkomitmen membeli 100 BBTUD dengan tingkat ToP 85 BBTUD. Saat penyerapan hanya 50 BBTUD maka pembeli tetap membayar untuk 85 BBTUD. Ini adalah mekanisme normal di industri gas yang dapat membantu penjaminan investasi di Hulu. Maka dengan kondisi ketidakmampuan penjualan dan tekanan Take or Pay ini (atau motivasi lainnya) terjadilah penjualan bertingkat. Satu trader 1 menjual ke trader 2, kemudiantrader 2 menjual ke trader 3, dan trader 3 menjual ke konsumen atau bahkan bisa melalui trader 4 dahulu baru ke konsumen. Suatu bentuk implementasi ekonomi biaya tinggi yang merugikan konsumen. Ilustrasi ini saya dapatkan di salah satu pemberitaan koran nasional berikut:
Maka kita harus pahami bahwa Indonesia masih minim infrastruktur gas dan kita masih harus mengejar pemenuhan kebutuhan primer pengelolaan gas. Maka cara paling efektif dalam pemenuhan kebutuhan primer tersebut harus digunakan dan kepinggirkan dahulu kebutuhan tersier yang dapat merugikan nasional dan akan berdampak jangka panjang.
Belajar dari kasus Medan, Open Access dan Unbundling menjadi sangat tidak penting karena bukan kedua konsep itu yang dapat menjawab kebutuhan primer kita saat ini. Kesalahan pemilihan konsep sesuai dengan urgensi Indonesia saat ini akan dibayar dengan mahal berupa ancaman pada Ketahanan Energi Nasional dan Keunggulan Daya Nasional.
Kembalikan pengelolaan gas bumi Indonesia sesuai UUD 1945 untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka stop pengelolaan yang tidak tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H