Topik bahasan mengenai rendahnya kemampuan literasi anak Indonesia masih selalu hangat dan menarik untuk didiskusikan hingga detik ini. Dari periode ke periode, hasil penelitian tentang kemampuan literasi anak Indonesia belum memperlihatkan hasil yang membanggakan. Budaya membaca dan menulis pada masyarakat Indonesia sampai di era digital ini sejatinya masih memprihatinkan. Hasil penelitian dari Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2015 mengenai kemampuan membaca siswa menemukan bahwa kemampuan membaca siswa di Indonesia menduduki peringkat ke-69 dari 76 negara yang disurvei. Bahkan dari hasil penelitian yang terakhir di tahun 2016 silam, negara khatulistiwa ini didudukkan pada posisi 60 dari 61 negara. Penelitian di kajian literasi yang dilakukan oleh Central Connecticut State University di New Britain, Conn, Amerika Serikat, menempatkan 5 negara pada posisi terbaik, yaitu Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia sebagai negara yang haus akan literasi (Yudho. 2017).
Berdasarkan data-data yang telah dipaparkan di atas, kita mengetahui bahwa faktanya memang pendidikan literasi anak-anak sekolah terutama di kawasan terpencil, masih sangat memerlukan bimbingan dari guru beserta orang tua dalam menngoptimalkan kemampuan membaca dan menulis. Umumnya, penguasaan keterampilan membaca seseorang lebih baik daripada keterampilan menulisnya. Malahan keterampilan berbahasa lainnya yang mendahului kedua keterampilan tersebut bila ditinjau dari sudut kemudahannya adalah keterampilan menyimak dan berbicara. Berbicara pada hakikatnya merupakan keterampilan berbahasa yang digunakan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan secara lisan (Maruti, 2016). Keterampilan berbicara akan mudah digapai jika anak menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu (mother tongue).
Bahasa daerah di Indonesia begitu bermacam-macam jenisnya. Melimpahnya keanekaragaman bahasa daerah menunjukkan eksistensi keindahan budaya di bumi pertiwi. Salah satu bahasa daerah yang paling banyak digunakan adalah bahasa Jawa. Bahasa Jawa merupakan bahasa daerah terbesar di antara 672 bahasa daerah yang tersebar di Indonesia. Sebab, memiliki penutur terbanyak yakni 85 juta jiwa lebih pada tahun 2010 (pencatatan Barbara Grimes, 2010) (Maruti, 2016). Dengan perkiraan jumlah penutur yang tidak minim itu dapat menjadi peluang dan potensi untuk pengembangan bahasa daerah di negara republik ini karena khazanah kata bahasa Jawa yang estetik dan penuh makna yang mendalam.
Pada interaksi sosial di dalamnya berlangsung adanya proses komunikasi yang memerlukan mediator sebagai penghubung antara satu individu dengan individu lainnya, yaitu bahasa. Berbagai hasil penelitian menyatakan jika peran interaksi antara orang tua dan anak sangat signifikan yang tercermin dari bahasa yang diutarakan oleh anak. Hal itu secara sengaja ataupun tidak disengaja dapat meningkatkan keterampilan berbahasa pada anak. Oleh karenanya, dianjurkan bagi para pendidik dan orang tua agar membiasakan anak-anak berkomunikasi dengan bahasa daerah. Betapa disayangkan bila anak beretnis Jawa tidak dapat berbahasa Jawa bahkan tidak tahu bahasa daerahnya sendiri. Juga ada mahasiswa mengaku bersuku Jawa tetapi sama sekali tidak mengetahui budaya Jawa ataupun tidak mampu melafalkan bahasa Jawa baik Krama maupun Ngoko.
Di era globalisasi ini, penggunaan bahasa daerah sudah mulai pupus, orang tua jarang mengajarkan bahasa daerah kepada anak mereka. Di samping itu, cukup banyak sekolah yang terletak di Jawa Tengah di mana sebagian siswanya tidak berdialog dengan bahasa lokal. Di sekolah itu pun tidak menetapkan para siswa harus berbicara dengan bahasa formal. Dari situ, lambat laun bahasa daerah khususnya Jawa akan pudar, terlupakan, musnah, serta adat istiadat dianggap kuno dan dipandang ketinggalan zaman. Padahal dibalik itu semua, bahasa daerah berfungsi sebagai bahasa budaya, bahasa pemersatu bangsa (intra-etnis), mempererat keakraban serta untuk mengetahui sejarah dalam bentuk perangkat bertutur (Joleha, 2020). Sehingga dari fenomena tersebut, pendidikan literasi memiliki peran vital untuk mempertahankan bahasa daerah terutama bahasa Jawa. Salah satu caranya adalah dengan membangun budaya literasi pada anak sekolah etnis Jawa melalui pengembangan kemampuan berbicara bahasa Jawa.
Kemampuan berbicara dalam bahasa Jawa perlu dikuasai terlebih dahulu sebelum mencapai kemampuan membaca dan menulis. Dengan berlatih dan belajar kemampuan berbicara bahasa Jawa yang tentunya dibarengi dengan media yang menarik dan mengasyikkan, maka anak-anak sekolah di lembaga pendidikan formal ataupun informal akan mempunyai banyak perbendaharaan kosakata yang dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkembangkan kemampuan membaca dan menulis mereka karena semakin kuatnya penguasaan kosakata. Dari pendidikan literasi, diharapkan terbentuk generasi etnis Jawa yang dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya (Normina, 2017). Selain itu, mampu bersosialisasi dalam masyarakat dan beradaptasi dengan lingkungannya dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup, baik secara pribadi, kelompok, maupun masyarakat secara keseluruhan dan menyatukan rasa ukhuwah antar penduduk nusantara melalui komunikasi dalam bahasa Jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Bawono, Yudho. 2017. Membangun Budaya Literasi Anak Prasekolah Etnis Madura Melalui Pengembangan Keterampilan Berbicara dalam Bahasa Madura. The 1st International Conference on Language, Literature and Teaching: 987-989.
Maruti, Endang Sri. 2016. Pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah Dasar. Magetan: AE Media Grafika.
Nacikit, Joleha. 2020. Artikel. Pentingnya Melestarikan Bahasa Daerah. Dalam https://www.researchgate.net/publication/341766883_PENTINGNYA_MELESTARIKAN_BAHASA_DAERAH diakses pada 26 Oktober 2021.