Agaknya akhir akhir ini kita banyak disuguhi berita tentang tokoh-tokoh penting dan pejabat kita yang cepat angkat bicara dengan mengklaim punya bukti kuat atau punya data intelijen, dll tentang suatu hal. Tapi akhirnya tidak terbukti seperti yang mereka ucapkan atau lontarkan. Dan sering sinyalemen yang tidak terbukti tsb berlalu begitu saja tanpa ada klarifikasi lebih lanjut, apalagi koreksi atau pemintaan maaf dari nara sumber awalnya.
Yang paling terbaru adalah tudingan terbuka oleh anggota panitia angket DPR , Pak Bambang Susatyo (BS), bahwa dia punya bukti rekaman keterlibatan Robert Tantular yang berbicara dengan Bu Sri menjelang di bail outnya BC. Tidak kepalang tanggung , bukti rekaman yang dia punya katanya lebih kurang 4 jam dan dia menyimpulkan bahwa tampak ada keterlibatan Robert dalam rapat KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) untuk mempengaruhi keputusan bail out tsb. Namun segera ada bantahan dari Pak Boed dan kemudian juga Bu Sri yang membuka rekaman video dan audio rapat KKSK dimaksud. Dari bantahan tsb tampaklah bahwa tudingan BS sementara ini terlihat lemah, tudingannya lebih merupakan spekulasi dan terkaan dia tentang adanya suara Robert. Entah kalau BS punya rekaman lain yang isinya bisa membuktikan tudingannya.
Disinilah saya berpikir bahwa memang benar anggota DPR punya hak berbicara dan imunitas atas apa yang disampaikannya dalam rapat-rapat DPR. Tapi apa boleh kemudian anggota dewan yang terhormat tsb dapat seenaknya mengemukakan sesuatu hal yang belum jelas kebenaranya. Bahkan juga menyampaikan hal bernada tuduhan itu dalam wawancara dengan mass media secara terbuka. Lebih ironis lagi ketika bantahan dari pihak yang telah dituduhnya begitu gamblang, eh tiba tiba ada seruan pula dari BS agar mengakhiri polemik, dan juga menekankan dia punya hak imunitas serta telah menyiapkan puluhan pengacara agar dia tidak dikriminalisasi. Ha..ha... jadi geli saya membaca serta mendengar berita itu dari media tentang hal ini.
Dari perang opini ini , ke depannya ada baiknya para pejabat publik yang terhormat dapat betul betul menyaring ucapannya sebelum dilontarkan ke publik. Apakah yang disampaikan itu benar/factual serta bermanfaat bagi rakyat dan negara. Sehingga hal-hal yang berbau spekulasi, sensasi, agenda kepentingan pribadi atau kelompok dapat dihindari. Bukankah para pejabat public itu punya tugas dan amanah untuk mensejahterakan rakyat ? Jadi jangan membingungkan rakyatnya dengan ucapan atau pendapatnya yang tidak jelas.
Terakhir budaya malu kalau bersalah/khilaf harus ditegakkan lagi. Jangan kalau sudah ketahuan salah maka malah mengelak minta maaf. Bahkan banyak orang yang memakai jurus lain (termasuk jurus akhirat) untuk mencoba menutupi salah nya. Saya rasa rakyat saat ini sudah banyak mendapat informasi dan bisa menilai mana yang sungguh benar, mana orang yang rumangsa benar. Mengapa begitu sulitnya pejabat kita mengaku khilaf dan minta maaf kalau telanjur ngomong salah karena data /info yang dia terima tidak valid. Apakah kalau seseorang jadi pejabat itu lalu naik statusnya menjadi malaikat suci yang tidak bisa keliru ?
Harapan saya biarlah trend tuduh menuduh secara vulgar di mass media akhir akhir dapat dihilangkan. Agar kita lebih dapat yakin mengklaim kita ini bangsa yang beradab tinggi dan memang sah mengaku punya budaya sopan santun yang masih terjaga baik. Biarlah menuduh/mendakwa itu hanya menjadi hak jaksa penuntut di ruang persidangan .
Salam kompasiana.
14 Des 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H