Lihat ke Halaman Asli

Gigih Mulyono

Peminat Musik

Kolonial Heritage Journey 10

Diperbarui: 29 April 2021   04:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelabuhan Sunda Kelapa. Dokpri


Pelabuhan Sunda Kelapa. Dokpri

Mercusuar Sunda Kelapa. Dokpri

Mobil meninggalkan museum sejarah Jakarta atau stadhuis masa Belanda. Menyusur jalan kawasan kota tua, disebelah kiri nampak berdiri rapuh jembatan khas negeri Belanda menghubungkan dua sisi sungai.

Jembatan yang diberi nama Kota Intan, konon itu adalah satu satunya jembatan khas Belanda yang masih tersisa di Jakarta. Namun sudah tidak lagi berfungsi sebagaimana tujuan dibuatnya. Aslinya adalah jembatan hydraulik yang bisa dibuka  tutup ke atas bawah manakala ada kapal pengangkut barang cukup besar akan melintas. Misalnya kapal dari Sunda Kelapa ke daerah Glodog atau sebaliknya. Karena kini memang kanal Jakarta tidak bisa lagi dilalui kapal agak besar. Jadilah sekarang jembatan Kota Intan tidak pernah dibuka tutup lagi, berfungsi hanya sebagai destinasi wisata kolonial heritage saja.

Replikasi kota tua Batavia sebagai tiruan Amsterdam, yaitu kota seribu kanal tidak terwujud. Hingga sampai sekarang Jakarta gampang banjir. Kalau saja master plan seribu kanal itu berhasil di Jakarta, barangkali akan lain ceritanya setiap musim penghujan datang luapan air terkendali.

Melewati bekas bekas reruntuhan tembok Batavia terlihat kusam tak terurus, disuluri akar akar pepohonan liar besar. Membayangkan seandainya benteng Batavia sepanjang 5 km itu masih eksis, tentu kota tua ini akan semakin menarik dan lengkap sebagai andalan destinasi wisata Jakarta.

Dari gadget nona google map memberitahu bahwa sepuluh menit lagi mobil baru sampai Sunda Kelapa. Sambil memandangi sekitar masih terngiang penjelasan Utam saat di pintu keluar museum wayang. Bahwasanya semua dalang top Indonesia itu pernah menggelar pementasan wayang kulit di museum wayang. Baik dalang gagrak Solo, gagrak Yogya, Cirebonan, Bali, Kedu ataupun Banyumasan dan lainnya.

Sebagai remaja penggemar wayang yang tumbuh dipinggiran kota Solo, kala itu fanatik hanya menggemari wayang kulit gagrak Surakarta atau Solo.

Jaman dulu banyak fanatikus wayang kulit yang sering membandingkan mana yang lebih baik dan indah dari semua gagrak. Terutama persaingan dua  mainstreamnya, yaitu gagrak Solo dan Yogya. Orang Yogya bilang wayang kulit Yogya yang paling adiluhung. Sebaliknya orang Solo mengklaim wayang gagrak Surakarta lah yang terbaik.

Dari perbedaan kelir, blencong, bentuk dan ekspresi wayang. Sampai warna suara kepyakan, gedogan, irama gamelan serta bagaimana ki dalang berantawecana, suluk, sabetan dsb.  Awak dulu beranggapan Nartosabdo, Anom Suroto para dalang top gagrak Solo lebih bagus dan nyeni dibanding para dalang kampiun gagrak Yogya. Seperti ki Timbul Hadiprayitno, Hadi Sugito dsb.

Tapi ketika awak sekolah di Yogya dan sering nonton wayang kulit gaya Yogya mulai bisa menikmati dan menyukai seni pedalangan gaya Yogya itu. Kini kedua gagrak itu yang masing masing memiliki kelebihan merupakan harta tak ternilai seni pertunjukan budaya lokal. Terus berkembang dengan kreasi dan cirinya masing masing sejak terpisahkan oleh perjanjian Giyanti di kota kecil Karang Anyar tahun 1755, yang memisahkan kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian. Yogyakarta dan Surakarta.

Apalagi kini dengan hadirnya dalang dalang baru seperti ki Manteb Sudarsono dalang gagrak Solo yang hebat, halus mensinergikan kekuatan dari masing masing gagrak dalam satu pertunjukan. Demikian juga kiprah dalang fenomenal gagrak Yogya, ki Seno Nugroho yang mengaku sebagai pengagum ki Manteb. Menggabungkan gaya Solo dan Yogya ajur ajer mewujud dalam pagelaran yang semakin menarik dan berwarna  - sayang sekali dalang unik ki Seno Nugroho telah wafat di usia muda pada menjelang akhir tahun lalu -

Tadi saat mengiringi berjalan menuju tempat parkir, Utam juga menginformasikan bahwa dirinya  terdaftar sebagai guide program walking tour di kota tua. Walking toer jalan kaki dimulai pukul sembilan pagi start dari alun alun museum sejarah Jakarta. Para peserta akan berjalan seharian mengunjungi tempat tempat bersejarah dan menarik di kota tua. Walking tour lumayan lama dan panjang akan berakhir pukul tujuh malam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline