Lihat ke Halaman Asli

Gigih Mulyono

Peminat Musik

Kolonial Heritage Journey 5

Diperbarui: 6 April 2021   12:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri


 

Wayang kulit dan karawitan adalah cinta pertama awak kepada kesenian. Sebelum demen kepada seni seni berikutnya.

Lulus sekolah menengah pertama, ingin mendalami seni pedalangan dan karawitan gagrak Solo. Apa daya orang tua tak meluluskan. Bapak menginginkan anaknya mondok di pesantren. Jalan tengah pun diambil, awak melanjutkan sekolah menengah atas umum di Yogya. Hasrat mendalami kesenian Jawa itupun pupus. Selanjutnya sebatas jadi penikmat saja, penikmat yang agak serius.

Beranda andai, kalau saja dulu kesampaian sekolah pedalangan apa jadinya? Menjadi siswa gagal, dalang biasa biasa saja atau dalang yang sukses. Entahlah, garis tangan membimbing ke arah lain.

Sewaktu berguru di kampus biru, teman teman fakultas membentuk paguyuban karawitan Jawi bernama Blencong Kencono atau oncor emas. Tergoda untuk bergabung tapi urung, jalaran tabrakan dengan hobi lain yang sedang dijalani. Hiking, mendaki gunung juga mengotak atik partitur gitar klasik. Lagian juga kerepotan berolah seni akuntansi di perguruan dengan teori dan penugasan penugasan bertumpuk.

Yang jelas sore ini awak bakal bersua kembali dengan cinta pertama kesenian, Wayang Kulit.

Masuk museum wayang. Mas Hadi orang asli Jawa ternyata tidak tahu banyak tentang sosok wayang. Karena masa kecil dan remaja nya  mukim di Jakarta. Menunjuk wayang Duryudana raja Astina diucapnya sebagai Gatot kaca putra Bima. Seorang pria yang duduk sendirian di lorong itu bangkit dan memberitahu, kalau wayang itu bukan sosok Gatot kaca. Satria berotot kawat bertulang besi itu berada di tempat lain.

Selanjutnya pria bernama Rustam dengan panggilan Utam itu mengikuti kami. Ternyata Utam seorang guide. Kebetulan.

Utam orang Betawi mengiringi kami, bercerita panjang lebar tentang museum wayang.

Gedung museum wayang ini dulunya adalah gereja yang dibangun Belanda. Disini juga dimakamkan 18 Gubernur Jenderal Belanda. Konon hanya gubernur jenderal ternama boleh dikubur disini.

Salah satu Gubernur Jenderal yang dimakamkan disini adalah Jan Pieterszoon Coen. JP Coen atau Mur Jangkung memerintah dua periode. Periode pertama dari tahun 1619 - 1623 dan yang kedua 1627 - 1629.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline