Lihat ke Halaman Asli

Gigih Mulyono

Peminat Musik

Aneka Ragam Nuansa di Jepang, Catatan Perjalanan 27

Diperbarui: 27 Agustus 2019   15:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumida River Tokyo. Dokpri

Bau dupa doa tercium saat mendekati bangunan utama Kuil. Seiring dengan asap dupa kelabu yang meliuk liuk tertiup angin. Membentuk spiral spiral bersusun. Jejeran pengunjung berdoa khusuk. Kuil Asakusa dan jalan Nakamize menjadi paduan serasi, antara hasrat fisik duniawi dan ritual Ukhrawi.

Menatap ke depan Kuil yang anggun dan menoleh ke belakang, jalan Nakamize yang hiruk pikuk. Seakan kawasan ini mencerminkan jati diri kebatinan orang Jepang.

Spiritual, cita rasa berkesenian dan nikmat duniawi berkelindan menjadi satu ikatan dalam Jiwa, Alam pikiran dan raga. Saling menopang. Laku spiritual tidak menegasikan aktivitas seni, juga tidak mengeliminir hasrat kenikmatan duniawi. Demikian juga, berlaku seni namun tetap mengedepankan Spiritual. Dan tidak menyingkiri nikmat duniawi.

The Temple. Dokpri


dokpri

Tradisi tradisi berkesenian yang tetap dilakukan sampai sekarang. Menjadi atraksi atraksi unik, langka dan menarik. Misalnya Hanami. Hana adalah bunga, Mi melihat. Acara melihat bunga di musim semi. 

Saat Sakura menjadi lautan warna melukis Jepang. Rombongan dari kantor after hour, rame rame menuju taman. Seorang staf sudah mendahului menggelar tikar diatas rumput. Mereka duduk memandangi bunga bunga bermekaran. Putih, jambon, gading sambil menghirup secangkir teh dan mencecap kue beras. 

Bagi rombongan rombongan orang berada, mereka bisa mengajak Geisha. Seniman tradisional serba bisa. Seorang wanita Jepang.Atau acara Tsukimi. Acara melihat bulan purnama. Yang biasa dilakukan malam hari di musim gugur. Memandangi langit dan hamparan daun warna merah dan keemasan di perbukitan, yang semakin cemerlang memantulkan sinar Rembulan. Atau acara minum teh di pondok kecil di tengah danau. Sejenak melupakan penat dan hiruk pikuk dunia.

The Castle. Dokpri

Sekali lagi menatap kuil keberuntungan Dewi Kannon itu, teringat suatu adegan sejarah Jepang masa Sengoku, di suatu Kuil. Ketika Akechi Mitsuhide, menetapkan hatinya untuk membunuh junjungannya Oda Nobunaga. Adegan menggubah sajak di sebuah Kuil dalam hutan lereng pegunungan. 

Mitsuhide berdiri memegang kuas tinta dikelilingi para Jenderal dan Biksu. Mulai menuliskan bait syair pembuka. Kemudian diteruskan oleh para Jenderal dan Biksu. Dan terakhir Mitsuhide menutup bait syair, Visi dari bisikan ketetapan hati dan niat mulia untuk melakukan pemberontakan.Tahta langit telah menjelang,
bukan lagi kesetiaan atau penghianatan,
............
............
............

provinsi provinsi dilimpahi kemakmuran,
rakyat jelata riang gembira menyambut hari.

Yah, membaca Jepang seakan menelusuri prosa liris kehidupan. Energik, berseni bergejolak sekaligus kontemplatif.

Ladies in Kimono. Dokpri

Meninggalkan kawasan Kuil Asakusa yang semakin ramai. Kami berjalan sejenak menuju spot foto cantik di pangkalan River Cruise di sungai Sumida. Di seberang sungai berdiri menjulang, menara tertinggi di Tokyo, Tokyo Sky Tree. Berjejer dengan gedung tinggi warna emas. 

Kantor pusat perusahaan beer Jepang Asahi, dengan instalasi bentuk busa beer menyamping.Kapal kapal Cruise futuristik, ramai menaikan dan menurunkan para pelancong. Menyusuri sungai Sumida ke arah Rainbow Bridge. Jembatan pelangi penghubung kota Tokyo dengan kawasan luas reklamasi, Odaiba.

Japanese garden. Dokpri

Para pelancong berwajah riang berfoto disitu. Berdiri dengan latar belakang gedung gedung, sungai, kapal, jembatan. Whats a picture.     
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline