Baru-baru ini, penurunan usia minimal untuk menjabat sebagai wali kota dari 35 tahun menjadi 25 tahun menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Salah satu figur yang kerap dikaitkan dengan perubahan ini adalah Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, yang kini aktif di dunia politik.
Banyak yang berspekulasi bahwa perubahan aturan ini seolah memberi jalan bagi Kaesang untuk maju lebih cepat sebagai calon wali kota, sehingga memunculkan polemik soal keadilan dan objektivitas kebijakan.
Di satu sisi, penurunan usia ini dapat dilihat sebagai langkah untuk mendorong partisipasi generasi muda dalam politik. Tokoh-tokoh muda seperti Kaesang dianggap memiliki energi, gagasan baru, dan relevansi dengan tantangan zaman, terutama dalam isu-isu modern seperti teknologi digital dan pemberdayaan anak muda. Keikutsertaan mereka juga dapat memotivasi generasi muda lainnya untuk lebih peduli terhadap politik dan pemerintahan.
Namun, di sisi lain, perubahan ini memunculkan kritik bahwa aturan tersebut berpotensi dibuat untuk memenuhi kepentingan individu tertentu.
Kaesang, meskipun dikenal luas sebagai pengusaha sukses dan sosok populer, dinilai oleh beberapa pihak masih minim pengalaman dalam birokrasi atau kepemimpinan pemerintahan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan: apakah tokoh muda yang maju di bawah aturan baru benar-benar siap untuk memimpin, atau sekadar memanfaatkan momentum politik keluarga mereka?
Fenomena ini juga memunculkan kekhawatiran tentang potensi oligarki politik. Jika perubahan aturan seperti ini terjadi karena pengaruh figur tertentu, maka ini dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap proses legislasi yang seharusnya netral dan berpihak pada kepentingan rakyat. Apalagi, bagi sebagian besar masyarakat, pengalaman dan kematangan pemimpin tetap menjadi faktor penting untuk memastikan keberhasilan tata kelola pemerintahan.
Pada akhirnya, penurunan usia minimal ini membutuhkan evaluasi mendalam dan transparansi. Jika generasi muda, termasuk tokoh seperti Kaesang, ingin maju sebagai pemimpin, mereka harus membuktikan kapasitas dan integritasnya secara mandiri, bukan karena perubahan aturan yang terkesan mendadak.
Dengan begitu, kepercayaan publik terhadap proses demokrasi tetap terjaga, dan kebijakan ini benar-benar menjadi langkah menuju regenerasi kepemimpinan yang sehat, bukan sekadar keuntungan politik sesaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H