Lihat ke Halaman Asli

Apa Itu Culture Shock?

Diperbarui: 4 April 2017   17:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Istilah culture shock pertama kali diperkenalkan oleh tokoh antropologis Oberg. Menurutnya, culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial, termasuk didalamnya seribu satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya: bagaiman untuk memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita tidak perlu merespon. Deddy Mulyana lebih mendasarkan cultural shock sebagai benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan pesepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami. Di indonesia cultural shock sering disebut dengan istilah gegar budaya di mana seseorang mengalami goncangan perasaan (kecemasan) yang diakibatkan oleh perbedaan nilai kebudayaan baru yang tidak sesuai dengan pola nilai kebudayaan yang sudah di anutnya sejak lama.

Tingkat-tingkat Culture shock (u-curve)

Meskipun ada berbagai variasi reqaksi terhadap culture hock, dan perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan bahwa orang biasanya melewati 4 tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva u, sehingga disebut u-curve.

Fase optimistic, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva U. fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru

Masalah cultural, fase kedua di mana maslah dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, system lalu lintas baru, sekolah baru, dll. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis daalm culture shock. Orang menjadi bingung dan tercengan dengan sekitarnya, dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten.

Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam caranya menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.

Fase penyesuaian, fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengertpi elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, adapt khusus, pola keomunikasi, keyakinan, dll). Kemampuan untuk hidup dalam 2 budaya yang berbeda, biasanya uga disertai dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa ahli menyatakan bahwa, untuk dapat hidup dalam 2 budaya tersebut, seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu, dan memunculkan gagasan tentang W curve, yaitu gabungan dari 2 U curve.

Manusia secara alamiah memang merupakan mahluk yang paling pandai dan cepat untuk menyesuaikan dirinya pada suatu keadaan yang baru di bandingkan mahluk yang lain. Akan tetapi manuasia memerlukan rentang waktu yang cukup untuk memposisikan dirinya dengan segala hal yang baru tersebut. Contoh dari hal sederhana, bagi seseorang yang sudah terbiasa tidur dengan waktu ideal 8 jam perhari akan merasakan pusing ataupun lemas ketika sehari saja ia hanya tidur selama 5 jam. Orang yang menjalankan ibadah puasa, ketika berbuka tidak lantas makan besar karena akan menyababkan gangguan lambung ia setidaknya minum air hangat agarmemberi kesempatan bagi tubuhnya untuk menyesuaikan. Jika dari hal sederhana saja tubuh manusia memerlukan waktu untuk mengadaptasiakan dirinya apalagi dengan lingkungan sosial.

Manusia yang disebut sebagai zone politikon tidak akan mampu bertahan hidup tanpa bantuan dari orang di sekitarnya. Bahkan manusia sangat memerlukan pengakuan dari orang disekitarnya atas eksistensinya. Dalam pola hubungan masyarakat tetulah akan ada sistem tata nilai kebudayaan yang dianut. Dimana kebudayaan tersebut dijadikan dasar bagi masyarakat tertentu untuk menjalin keakraban dan mencapai kerukunan bersama. Goncangan kebudayaan atau cultural shock sebagai salah satu fenomena sosial dapat di alami oleh siapapun saat orang tersebut tidak mampu memposisikan dirinya dengan kebudayaan baru di sekitarnya.

Pengalaman Goncangan kebudayaan atau dalam bahasa kerennya sering disebut dengan istilah cultural shocksaya alami ketika awal masuk kuliah. Ketika awal masuk universitas yang amat pekat dengan nuasa agama Islam. Karena pendidikan saya dari SD.SMP,hingga SMA saya tempuh di umum saya kurangterbiasa dengan pelajaran agama secara mendalam sedangkan di universitas mau tidak mau saya harus menjalaninya karena merupakan mata kuliah wajib yang harus di tempuh. Diawali dengan mata kuliah sejarah kebudayaan islam, hadist, tauhid, dan tasawuf di semester pertama cukup membuat saya kelimpungan untuk memahami dan mengerti mata kuliah tersebut. Ditambah pada semester dua ada mata kuliah bahasa Arab yang belum saya pelajari, karena belum pernah ada di mata pelajaran ketika jenjang pendidikan saya sebelumnya, alhasil dalam minggu-minggu awal masuk kuliah semester dua saya sering tidak masuk kuliah karena biasanya dosen meminta mahasiswa untukmembacateks bahasa arab yang tidak ada harokatnya.

Pengalaman lain saya yang lain, ketika saya harus tinggal di Jogja dan satu kos dengan teman yang dari beberapa daerah yaitu Pati, Pondowoso, Bogor, Wonogiri, dan Solo. Meski kami sama-sama orangJawa namun ternyata bahasa yang kami gunakan berbeda. Meski katanya sama namun berbeda makna yang menyebabkan kami harus mnyesuaikan satu dengan yang lain.

Suatu ketika saat hari minggu saya dan teman satu kos untuk makan bersama, ketika itu kami membeli mie ayam dan bakso di pedagang kaki lima dekat kos. Saat sedang asyik menikmati makanan tiba-tiba teman saya Riza dari Pati berkata “ hawane kok anyep banget ya” saya yang tepat di sampingnya sejenak bingung, istilah “anyep” yang saya ketahui biasanya untuk menunjukkan mkanan yang hambar bukan untuk cuaca, untuk itulah saya putuskan untuk bertanya apa makna kata tersebut. Ternyata di daerah Pati kata “anyep” bermakna dingin. Kejadian lain yang agak konyol yaitu saat saya meminta tolong teman sekamar saya Nurul yang berasal dari Bogor untuk membelikan buah pisang di warung depan kos untuk makan tablet vitamin. Tanpa berfikir panjang dengan logat jawa yang melekat saya mengatakan “ Nurul, aku nitip gedhangneng warung ngarep ya” . Ketika ia pulang alngkah terkejutnya saya ketika yang ia belikan bukanlah buah yang saya maksud. Dengan santai ia berkata “ini gedhangnya” sambil menyerahkan buah itu. Namun yang ia berikan bukanlah “gedhang” yang saya maksud pisang melainkan pepaya. Singkatnya ternyata di Bogor menyebut buah pisang bukanlah “gedhang” melainkan pepaya atau kalau orang jawa menyebutnya “gandul”.

Untuk itulah ketrampilan memahami kebudayaan masyarakat lain sangat perlu dilakukan agar kita mampu menjalin komunikasi yang efektif. Dengan komunikasi yang efektif akan memudahkan kita bersosialisasi dengan pola nilai kebudayaan masyarakat yang baru. Apalagi Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai ragam adat istiadat, bahasa, dan kebiasaan. Sehingga goncangan kebudayaan atau cultural shock dapat kita minimalisir dan yang paling penting untuk menghindari adanya bentrokan dan permusuhan karena adanya miskomunikasi antar kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline