Sebuah kearifan lokal di mana masyarakat Mentawai masih mengandalkan kemampuan alamiah dan peralatan sederhananya untuk mencari makanan di laut dan di hutan. Hanya dengan tombak, jala sederhana, dan busur panah alami mereka mendapatkan penghidupan dan keberlangsungan hidup. Sebuah system teknologi yang dibangun atas dasar keberlanjutan. Jika alam rusak, maka mereka juga yang akan merugi. Budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang, sangatlah bijak dalam upaya mencegah rusaknya alam. Sebaliknya, alam akan memberikan makanan dan kehidupan bagi mereka yang telah arif dalam bertindak. Sebesar apapun pengaruh dari dunia luar, mereka tetap mempertahankan budaya turun –temurun dengan sedikit polesan dalam peralatan.Kearifan lokal yang merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Inilah bentuk nilai tradisi untuk menyelaraskan kehidupan manusia dengan cara menghargai, memelihara, dan melestarikan alam lingkungan.
Akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujudkan tradisi atau “agama". Dalam bentuk ritual-ritual, nilai-nilai, melalui larangan dan petuah, serta kepatuhan terhadap tetua terdahulu melalui penghormatan terhadap alam bahkan sampai kepada perilaku kolektifpun dapat diatur sehingga menciptakan harmonisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat Mentawai yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.
Adalah Sistem Teknologi Berburu Masyarakat Mentawai,
Berburu merupakan suatu bentuk mata pencarian yang mengandalkan teknologi berupa peralatan, yang mengandalkan lontaran yang dapat memperpendek jangkauan antara pemburu dan binatang yang diburu. Teknologi ini sudah digunakan oleh masyarakat Mentawai (terutama Pulau Pagai Utara dan Sselatan), sejak zaman penjajahan Belanda. Sistem teknologi ini mendapat pengaruh besar dari Eropa (barat). Pengaruh formal pertama dengan dunia barat diperoleh melalui Vornelis Pietersz yang datang di kepulauan ini sekitar abad XVII. Kontak tersebut berkaitan dengan pelayaran dagang ke pulau Pagai. Selanjutnya terjadi hubungan berupa kontak dengan para pelaut berkebangsaan Inggris, hubungan dagang dengan pemerintah Belanda, dan pembangunan sekolah/asrama untuk pribumi oleh Belanda, serta pendidikan dan penyebaran agama dalam sektor formal.
Sentuhan pendidikan sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial, sehingga banyak anak Mentawai yang merantau dan berkehidupan sebagai orang kota. Namun, masih terdapat permasalahan kurangnya minat anak didik, kecilnya gaji sehingga guru-guru tersebut harus juga berladang. Maka, dibuatlah program permukiman kembali yang mengubah pola-pola sosial d
(1)Berburu di Laut
Aktivitas berburu tak lepas dari ritual adat yang dipimpin oleh sikerey (dukun), dan dilakukan secara berkelompok, yang berbentuk punen (melibatkan banyak orang dalam satu klen) untuk memburu penyu dan lia (upacara kecil yang hanya melibatkan satu keluarga batih) untuk memburu perorangan dalam menangkap ikan. Aktivitas berburu di laut ini dilakukan kaum laki-laki pada malam hari dengan menggunakan sampan kecil, yang hanya dapat menampung empat orang. Areal perburuan pada umumnya berada di daerah sekitar pulau-pulau kecil, atau sekitar satu kilometer dari garis pantai dengan buruan utama adalah penyu yang merupakan hewan buruan bergengsi tinggi.
Peralatan yang dipakai dalam kegiatan berburu adalah sebagai berikut:
Sampan (abak) yang terbuat dari kayu, dapat dimuati oleh tiga orang dewasa. Keranjang tas (bakulu) yang terbuat dari kulit pohon sagu, bentuknya segi empat panjang, digunakan untuk menyimpan bahan makanan serta perlengkapan lainnya. Lampu petromaks yang digunakan selama aktivitas berburu sebagai penerangan, dan sebagai daya tarik agar ikan-ikan berkumpul di sekitar sampan sehingga mudah ditangkap. Tombak penangkap penyu (pattara) yang dilengkapi dengan tali yang sangat panjang sehingga jika penyu tertangkap, dapat langsung ditarik-ulur. Pattara dilengkapi dengan jala khusus untuk menangkap penyu. Tombak ikan (totombak). Tombak ini mirip dengan pattara tetapi lebih kecil, ukurannya sebesar ibu jari dan panjangnya sekitar 60 cm. Dalam aktivitas berburu ini terdapat beberapa pantangan yang harus dipatuhi oleh setiap orang laki-laki maupun istrinya di rumah. Jika dilanggar dianggap dapat mendatangkan musibah bagi si pemburu dan keluarganya.
Aktivitas berburu di laut biasanya melibatkan sebagian besar penduduk (di desa Muntei misalnya), karena jarak ke laut relatif dekat dan tidak terlalu banyak hambatan seperti perburuan di daerah hutan. Setelah perburuan selesai dan mendapatkan hasil buruan berupa penyu, mereka sesampai di rumah akan membunyikan tuddukat yang berfungsi sebagai alat komunikasi yang diwariskan dalam suatu suku secara turun temurun.
Selain oleh laki-laki, terdapat juga kegiatan penangkapan ikan oleh kaum perempuan biasanya dilakukan di daerah pantai dengan ketinggian air sekitar dada (paligagra). Umumnya anggotanya adalah ibu-ibu muda atau juga anak-anak muda yang belum menikah. Jika sudah unya anak, maka anaknya akan ditinggalkan di tepi pantai. Paligagra ini dilakukan pada pagi hari, atau pada malam hari jika dilakukan oleh anak-anak muda jika bulan terang. Selain itu, dapat juga mencari siput laut dengan menggunakan sampan dan mencari tutube (belatung air yang hidup pada batang bakau yang membusuk). Tutube ini dikumpulkan untuk kemudian dimakan mentah-mentah atau dibakar. Berburu di laut merupakan bidang relatif baru bagi penduduk yaitu ketika dipindahkan melalui program pemukiman kembali (resettlement) ke daerah di tepi pantai.
Adapun alat-alat yang digunakan untuk berburu di hutan antara lain:
§Busur (douro) yang terbuat dari kayu sepanjang 1,5 m dengan tebal busur pada bagian tengah berdiameter sekitar 5 cm dan bagian ke dua ujung sekitar 2 cm. Tali busur dibuat dari akar pohon yang dipilin; anak panah (borusu) terbuat dari rotan dan ujungnya dari kayu yang dapat dilepaskan antara ujung panah dan batang panahnya dan tempat panah (bukbuk) yang terbuat dari kulit pohon sagu.
§Racun panah (anam) yang terbuat dari omai (semacam tumbuh-tumbuhan), cabe rawit, tuba, dan jahe (baklai). Racun panah tersebut terbuat dari tumbuh-tumbuhan antara lain terbuat dari daun ipuh(Antiaris Toxicaria) dan dicampur dengan akar tuba (Derris Elliptica) dan cabai.
§Keranjang kecil (opa dan sitokbak), yang digunakan sebagai alat untuk membawa sagu sebagai bahan makanan di perjalanan.
§Parang (tele), yang digunakan untuk memotong kayu yang dianggap akan menghambat perjalanan dalam perburuan.
§Anak panah biasa, mata panahnya terbuat dari kayu yang dibentuk meruncing sebesar jari telunjuk orang dewasa. Pada saat sekarang ujung panah terbuat dari logam yang berbentuk segi tiga dengan aneka besaran yang berfungsi untuk korban-korban tertentu. Jenis kera atau babi hutan akan berbeda bentuk ujung panahnya.
§Alat pembawa bahan makanan untuk bekal dinamakan dengan opa, yang mempunyai berbagai jenis antara besar sampai kecil.
Pada masa sekarang, perlengkapan berburu ini sudah banyak mengalami perubahan. Ada yang menggunakan senapan laras panjang dan bahkan sudah menjual rotan atau minyak nilam dengan teknologi penyulingan sederhana. Ritual untuk berburu dilakukan sejak awal berburu hingga akhir berburu yang dipimpin oleh Sikerey. Senjata yang berupa anak panah dan busurnya serta alat perlengkapan lainnya seperti keranjang (bakulu) yang akan digunakan, dikumpulkan bersama-sama dalam ritual tersebut kemudian diberikan doa-doa, termasuk juga anjing yang akan diajak untuk berburu. Semuanya disentuhkan kepala ayam jantan oleh sikerey. Setelah itu semua anggota klen makan bersama dalam Uma yang berupa keladi yang dibawa dari rumah masing-masing. Ada hal-hal yang menjadi larangan dalam berburu binatang untuk menghindari kekuatan roh jahat dan amarah dewa hutan.
Kegiatan berburu ke hutan dilakukan secara beramai-ramai (berkelompok), masing-masing membawa anjing pemburunya atau bahkan memanjat pohon dengan panah sebagai alat buru. Hasil buruan utama mereka adalah babi hutan (Sus barbatus) dan bilou (Hylobates hosii), simakobu (Simias concolor), joja (Presbhytis potenziani).
Anggota klen yang pergi berburu membawa keladi atau sagu yang telah dibakar sebagai bekal mereka, yang biasanya dibawa oleh anak laki-laki. Selain hasil buruan, mereka juga mengumpulkan Orat Simagr, yaitu tengkorak-tengkorak hasil buruan yang dipajang sabagai atau jalan menuju ke alam supra natural. Alang-alang digunakan pemburu sebagai kesuksesan dalam berburu. Kepala suku kemudian memukul tuddukat untuk memberikan informasi kepada yang lainnya dan suku lain bahwa seseorang dari pemburu telah mendapatkan hasil buruan. Kemudian mereka akan mengadakan pesta ritual oleh seluruh penduduk kampung satu klen (suku). Saat ini masih menjadi tren persaingan antar klen untuk hasil buruan. Persaingan tersebut dilakukan dengan cara melakukan perburuan binatang, dan yang paling bergengsi binatang yang diburu adalah simakobu sejenis siamang. Tudukkat dibunyikan sehingga klen lawannya merasa termotivasi untuk mencari buruan yang lebih baik.
Akhirnya semua buruan ini akan tetap mereka dapatkan, jika laut dan hutan tetap terjaga. Tidak boleh ada peralatan canggih seperti trawl, pukat harimau, bom, sianida, dan alat tangkap merusak laiinya. Tidak boleh ada pembabatan hutan, tebang-tebang sembarangan untuk kepentingan perusahaan besar atau asing. Karena hutan ini milik adat, laut ini milik adat. Inilah titipan Yang Maha Kuasa, yang harus dijaga oleh adat dan budaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H