Lihat ke Halaman Asli

Ika Mulya

Melarung Jejak Kisah

Cerpen | Lingkaran Cinta

Diperbarui: 2 Juni 2020   06:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: Pinterest (brides.com)

Aku dan Daneswari akhirnya berada di sini, di panggung pelaminan yang sangat indah, juga megah. Kami harus menyungging senyum semringah, tatkala tamu-tamu menyalami dan memberikan ucapan selamat.Beberapa kali kami beradu pandang tanpa sengaja. Dalam balutan kebaya warna perak, dia tampak sangat anggun. Binar-binar kebahagiaan pun terpancar jelas di parasnya yang cantik. Entah di dalam hatinya, apakah juga seperti perasaanku. Perih.

***
Setelah tiga windu berpisah, acara reuni kampus membuat kami bertemu lagi. Bagiku, itu bukan sekadar persuaan biasa, tetapi juga momen bertautnya kembali kisah cinta yang telah usang. Sebuah kebetulan klasik.

Ada denyut yang tak biasa di dalam dada, saat kulihat Daneswari nyaris tak berubah. Dia tetap menawan seperti dulu, cantik dan seksi. Sambutannya yang hangat ketika aku menghampiri, sontak membuat hati ini tercabik-cabik. Sungguh, aku menyesal pernah mengkhianati cintanya.

"Hai, Mas Tama. Apa kabar? Selamat, ya. Kudengar sudah jadi wali kota," sapa Daneswari, saat kusalami. Senyum manis mengiringi suaranya yang masih selembut dulu.

"Baik, Nes. Terima kasih."

Andai saja dia tahu, dadaku riuh bergemuruh manakala mengucapkan kalimat basa-basi berikutnya. Melebihi rasa gugup saat orasi di masa kampanye. Sama sekali tak menyangka, Daneswari bisa bersikap demikian ramah padaku. Kembali teringat --bahkan kata demi kata-- apa yang dia ucapkan, ketika mendapatiku bermesraan dengan sahabatnya.

"Sumpah! Aku benci kalian! Menjijikkan!"

Begitu ucapan kekasihku,  sebelum melangkah pergi. Tatapannya bak hujaman ribuan jarum suntik, menancap tepat di ruang sesal paling dalam. Sejak itu pula, Daneswari tak pernah memberiku kesempatan. Bahkan untuk menerima panggilan telpon saja, dia tidak bersedia. Apalagi bertemu. Dokter gigi itu marah, semarah-marahnya.

"Kupikir kamu nggak bakalan mau kenal aku lagi," ucapku jujur, ketika kami punya kesempatan berbincang berdua saja, di tengah acara reuni.

"Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu. Aku sudah lama berdamai dengan diriku sendiri, juga denganmu."

"Denganku?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline