Lihat ke Halaman Asli

3G di Kao Barat

Diperbarui: 5 Juni 2016   14:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

3G (3 Galon)

Okay, sekarang tanggal 29 September 2015 saat aku menulis, entah kalian menyebut tulisan ini apa. Sudah lebih dari sebulan, tepatnya lebih beberapa hari aku tinggal menetap di desa yang dimana signal masih menjadi barang langka di sini. Kao Barat namanya. Hampir semua desa di kecamatan ini masih haus akan signal. Terutama di Desa Makarti. Desa yang dimana dihuni oleh mayoritas warga transmigrasi.

Hidupku terlanjur bergantung pada internet. Ada suatu titik di Desa Toliwang yang bisa menangkap signal internet. Itu pun masih jaringan Edge. Harus menempuh berpuluh kilometer untuk menempuh tempat tersebut.Termasuk desa penduduk asli yang dimana babi-babi berkeliaran bak ayam atau kucing. Jaringannya pun kadang ada dan tak memuaskan. Cuma untuk sekedar memeriksa pemberitahuan Facebook, masih bolehlah. Tapi untuk membuka pemberitahuan tersebut, harus bersabar tingkat dewa. Apalagi searching di Google, hentikan imajinasi itu!!!

Sempat iri dengan teman-teman yang berada di bagian utara Halmahera Utara yang bisa menikmati signal, maupun jaringan internet HSPA+ tanpa harus menempuh berkilo-kilometer lamanya . Hanya leha-leha di atas tempat tidur, bisa menelpon sambil berinternet ria di atas kasur yang empuk. Tak apalah. Mungkin ini cara Allah untuk membuatku lebih hemat dengan tak terpengaruh oleh paket internetan Telkomsel.

Sial, di sini aku harus hidup bersama, satu atap dengan dua galon. Tak ada tubuh semampai atau bayangan gitar Spanyol yang menambah indahnya pemandangan di pagi, siang ataupun malam hari. Hanya dua angka nol, ditambah dengan diriku yang juga menambah satu angka nol besar. Setidaknya, tak ada korban bully yang menyinggung ukuran tubuh di sini. Kami bahagia dengan kondisi yang begini. Daripada mereka-mereka yang membentuk kesatuan lidi, entah akibat tertekan tinggal di rumah orang atau melupakan makan akibat terlalu diperbudak dengan HSPA+ nya itu. Cukuplah 3G yang ada di Kao Barat. Tiga Galon maksudnya…

Puskesmas Pembantu atau yang lebih dikenal dengan singkatan Pustu. Begitulah kira-kira julukan bangunan ini sebelum kami tinggali. Entah sudah berapa lama Pustu ini vakum ditinggal oleh para petugas kesehatannya. Sewaktu kami tiba, ada banyak gambar-gambar atau tulisan-tulisan di tembok hasil karya manusia tak bertanggung jawab. Jaring laba-laba maupun sarang serangga Nampak di seluruh sudut ruangan. Untunglah, ada Kepsek dari masing-masing sekolah penempatan kami yang ikut membantu maupun mendekorasi bangunan yang akan menjadi tempat tinggal selama setahun. Serta beberapa guru dan siswa yang dengan semangat hingga akhir penyelesaian.

Kami hanya tiga di kecamatan yang luas ini. Mengajar dengan berbeda sekolah, satu sekolah satu guru SM-3T. Cukup berat memang, namun bayang-bayang semboyan “Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia” atau “ Berjuang atau Pulang Saja” menambah semangat pengabdian kami untuk Indonesia. Semoga itu cepat tertanam di dalam hati kami, walau tidak 100%. Setidaknya berusaha dan terus berusaha bisa membuat persen itu menjadi sempurna. Cukup doa kalian yang senantiasa tulus mencintai kami yang kami harap. Tak ada yang berharga selain itu. Semoga ini bisa menjadikan kami dewasa dan lebih hebat kedepannya. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline