Lihat ke Halaman Asli

eddy mulyadi

Dosen dan peneliti

Konsep Malu dalam Masyarakat Melayu

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Setiap  kelompok masyarakat memiliki keunikan budaya  sen­diri sesuai dengan konsepsinya tentang dunia. Bahasa yang berbeda mewujudkan  konsepsi yang berbeda.  Oleh  karenanya, tidak ada kelompok masyarakat yang dapat mengklaim bahwa budayanya lebih baik daripada budaya kelompok  lain. Jika budaya tertentu dinilai secara negatif,  penilaian itu  biasanya bersumber dari  pendu­kung budaya lain. Dengan kata lain, mereka  menilai budaya  orang lain dengan menggunakan "kerangka budayanya sendiri.

Masyarakat Melayu yang umumnya tinggal di pesisir  Pulau Sumatera juga memiliki sejumlah konsep budaya  tertentu  sebagai refleksi dari cara pandang mereka terhadap alam sekitarnya. Cliff Goddard (1996), dalam tulisannya yang berjudul  "Culural Values and Cultural Scripts of Malay (Bahasa Melayu)", mengatakan  bahwa para peneliti Eropa menggambarkan budaya Melayu  dengan  nilai-nilai kehalusan budi, ramah-tamah, dan sensitif.  Selain  itu, orang  Melayu digambarkan sebagai orang yang sopan,  santai, dan menarik  (dan  juga sifat yang kurang baik, seperti  lamban,  pemalas, mudah tersinggung).

Orang Melayu secara tradisional adalah orang desa. Kehidupannya bergantung pada perikanan, perkebunan, dan pertanian.  Mereka sudah  lama menjadi muslim dan Islam sering diidentikkan  dengan Melayu.  Seluruh  aspek budayanya dipayungi  oleh agama Islam sebagaimana  tercermin dalam ungkapan "adat bersendikan syarak" dan  "syarak bersendikan  kitabullah”. Selain itu, budaya Melayu  kaya dengan pantun,  peribahasa, dan syair. Bahasa  berperan penting dalam budaya  mereka. Pentingnya bahasa dalam budaya Melayu dibuktikan dengan kenyataan bahwa bahasa mempunyai makna 'rasa hormat' dan ‘tata krama’.

Konsep malu

Malu  ialah kata yang mengekspresikan perasaan  yang tidak menyenangkan  yang dialami seseorang dalam  situasi  tertentu.  Jenis perasaan ini muncul mungkin karena reaksi dari tindakan diri sendiri atau tindakan orang lain  yang dianggap tidak pantas  atau menyimpang dari norma yang berlaku dalam masyarakat. Jadi, rasa malu terle­tak dalam pikiran seseorang dan orang yang malu biasanya mengeta­hui situasi yang menyebabkan timbulnya rasa malu itu.

Bagi orang Melayu, malu merupakan konsep budaya yang berperan penting  dalam pergaulan. Konsep ini berbeda dengan  konsep  yang dimiliki  oleh  pendukung budaya lain. Bukan  hanya  dari  bentuk leksikalnya,  melainkan juga dari maknanya. Sebab itu, pemadanan konsep malu dari bahasa yang satu ke dalam bahasa lain tidak akan menghasilkan makna yang sama meskipun bahasa-bahasa itu bertalian secara geografis, genetis, dan kultural.

Misalnya,  konsep malu dalam bahasa Melayu  berlainan  dengan konsep  shame dalam bahasa Inggris, whakamaa dalam bahasa Maori, ha'amaa dalam bahasa Tahiti, atau haji dalam bahasa Jepang. Dalam ruang lingkup  yang lebih terbatas, konsep ini juga tidak  sama dengan konsep elek dalam bahasa Bali, isin dalam bahasa Jawa, mai dalam bahasa  Biak, todus dalam bahasa Madura, atau maila dalam bahasa Angkola. Pendeknya, kata-kata itu berbeda maknanya sesuai dengan keunikan budaya masing-masing.

Dalam  pandangan  orang Melayu, menghindari rasa  malu  (diri sendiri  ataupun orang lain) merupakan kekuatan utama  dalam hubungan  sosialnya. Dua konsep sosial lain yang berhubungan  ialah maruah,  yang bermakna 'martabat pribadi' dan harga diri. Sistem nilai sosial  orang Melayu boleh dikatakan didasarkan  pada  dua konsep  ini. Dengan kata lain, perilaku sosialnya diatur  sedemi­kian rupa  untuk menjaga martabat pribadi dan  tidak menyingung harga diri orang lain.

Demi menjaga martabat pribadi, orang Melayu akan meminjam  uang pada keluarga atau tetangga apabila ingin menikahkan anaknya. Demi alasan yang sama pula, orang Melayu yang gagal  membawa hasil dari laut kemungkinan akan membeli ikan di pasar untuk dibawa pulang ke rumah. Sementara itu, jika harga dirinya sudah tersinggung,  orang Melayu menjadi marah, yang di dalam konsep Melayu  disebut amuk. Amuk  tidak terbatas pada orang seorang, tetapi  juga orang ramai (massa). Konflik sosial yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia bisa  menjelaskan bagaimana ekspresi amuk orang Melayu.

Ciri  unik konsep malu dalam masyarakat Melayu  ialah  bahwa konsep ini berhubungan dengan penglihatan.  Orang  Melayu  baru merasa malu  apabila perilakunya yang memalukan  itu  diketahui orang lain. Secara lintas budaya, konsep ini berbeda dengan orang Aborigin  di Australia. Seperti dikatakan  oleh  Harkins  (1990) dalam "Linguistic and Cultural Differences in Concepts of Shame", bahwasanya  orang Aborigin  merasa malu kalau  melintasi tempat  upacara atau bila melihat foto benda-benda keramat pada buku perpustakaan walaupun tidak ada orang lain di dekatnya.

Betapa pentingnya konsep malu bagi orang Melayu diungkapkan melalui peribahasa berikut: Daripada  hidup  menanggung malu,elok mati kena palu; Kalau aib sudah  menimpa,  hidup  di dunia  ini  tiada berguna. Peribahasa ini  bermakna  bahwa orang Melayu  lebih memilih mati daripada menanggung  malu.  Tegasnya, dalam pandangan orang Melayu, malu merupakan ekspresi emosi  yang harus dihindari.

Berbicara sopan

Salah  satu norma perilaku berkomunikasi orang  Melayu  ialah berbicara  dengan cara yang sopan. Dalam  berkomunikasi  sehari-hari, ada kesan bahwa orang Melayu selalu berpikir sebelum berbi­cara, seperti direfleksikan  dalam ungkapan Kalau cakap  pikirlah dulu sedikit. Keinginan menghindari lawan bicara  merasakan  sesuatu yang buruk, dalam hal ini mendapat malu, tampaknya  dimoti­vasi oleh keinginan agar lawan bicara tidak memikirkan sesuatu yang buruk tentang pembicara.

Orang Melayu dituntut berbicara sopan sebab perilaku ini akan menghindarkan orang  lain mendapat malu  pada  berbagai  situasi tuturan. Nilai budaya Melayu ditentukan oleh kemampuan  berbicara ini. Cara berbicara ini tidak berhubungan dengan kekayaan, keturunan, atau pendidikan. Seorang nelayan yang hanya tamat sekolah dasar  bisa saja berbicara lebih sopan daripada  seorang pegawai negeri yang tamat dari perguruan tinggi. Orang yang tidak berbi­cara  sopan akan dikatakan anak yang kurang ajar dan  tidak tahu aturan. Sebaliknya, cara yang sopan akan mendapat kebanggaan.

Perilaku  sopan juga berlaku pada ranah  perilaku  nonverbal; misalnya, melepas sepatu sebelum masuk ke rumah, memakan sedikit makanan  yang ditawarkan, bersikap khusus ketika  melewati  orang yang  sedang  duduk, menggunakan tangan kanan ketika makan atau memberikan  sesuatu,  menghindari sentuhan fisik  dengan  anggota keluarga yang berbeda jenis kelamin, menunjuk dan memberi isyarat dengan cara tertentu.

Di  sisi  lain, rasa malu sendiri merupakan  suatu  "benteng" dalam mencegah perilaku sosial yang dianggap "menyimpang"  dalam masyarakat.  Orang yang menyadari bahwa perilakunya dapat menyebabkannya  malu  akan  berusaha menghindari  situasi yang tidak menyenangkan  ini.  Dalam  pengertian ini,  malu  dapat dipahami sebagai mekanisme pengendalian sosial bagi perilaku orang Melayu.

Selanjutnya,  ekspresi malu berkaitan dengan  relasi  sosial, seperti akrab dan tidak akrab. Relasi ini bahkan mempunyai impli­kasi  yang sangat luas. Contohnya, dipuji atau diejek oleh  teman akrab  di hadapan orang lain yang tidak akrab  dapat  menyebabkan rasa malu. Orang Melayu juga malu kalau bagian tubuhnya  terlihat oleh  orang lain yang tidak akrab dan berbeda  jenis  kelaminnya, tetapi tidak malu jika bagian tubuhnya terlihat oleh keluarganya sendiri  yang sama jenis kelaminnya. Rasa malu bisa  pula  muncul manakala seseorang, dan ini biasanya wanita, diperkenalkan dengan calon mertuanya  atau diperkenalkan dengan calon  suaminya  jika hubungannya  terjalin  melalui sistem perjodohan, bukan  melalui jenjang berpacaran.

Penutup

Konsep  malu  merupakan  konsep budaya  yang  mendasar  dalam masyarakat Melayu. Konsep ini berhubungan dengan  konsep  sosial "muruah" dan "harga diri" dan mengandung nilai kesopanan  sejalan dengan norma perilaku berkomunikasi orang Melayu, yaitu berbicara dengan cara yang sopan. Di samping itu, ekspresi malu mengandung berbagai aspek sosial budaya, terutama relasi sosial  akrab  dan tidak akrab di antara penutur dan petutur.

Dalam  bahasa Melayu sekarang ini ekspresi malu  telah  mengalami perubahan sesuai dengan perubahan dan perkembangan masyara­kat penuturnya. Ada beberapa bukti tentang perubahan  penggunaan kata  itu pada generasi muda yang berkaitan dengan perilaku sosialnya  akibat penetrasi dari budaya lain (budaya  asing). Perubahan  itu mengacu pada situasi di mana orang  Melayu, terutama yang tinggal di perkotaan, tidak lagi menggunakan kata malu dalam kaitannya dengan perilaku berpacaran, seperti berpegangan tangan atau berpelukan,  di tempat-tempat umum meskipun  bagi  sebagian orang Melayu sikap seperti ini dianggap "tak tahu malu".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline