[caption id="" align="aligncenter" width="700" caption="from: frontpagemac.com"][/caption]
Dua tahun lalu, saya berjalan-jalan di trotoar kota Damaskus sembari menikmati riuh kota yang diisi berbagai kesibukan masing-masing warga Suriah. Tidak lama kemudian, saya bertemu dengan orang yang tidur berbaring di taman. Di atas hamparan hijau muda, laki-laki kusut itu memiliki karakteristik yang pas untuk disebut seorang hobo atau gelandangan. saya tidak begitu yakin, karena di Suriah, masyarakat banyak yang beraktifitas di taman kota. Namun mungkin itu terlihat asing karena saya adalah orang Indonesia, yang matanya tidak terlatih melihat orang yang beraktifitas di taman kota, seperti Jakarta.
Akhirnya saya memutuskan menghampirinya. Dia pun menoleh, memperhatikan seseorang yang mendekat ke arahnya. Wajahnya kusam yang tertutup peluh itu menyapaku dengan senyuman. Saya pun membalasnya dengan senyuman. Saya tak akan pernah lupa senyuman itu, senyuman hangat yang datang dari wajah kaum papa tersebut betul-betul membekas dalam memoriku. saya menghampirinya disaat dia duduk di karpet lawas dan kusam. Tubuh kurusnya dibalut kain kusam pula dan tampak dimatanya tatapan yang layu. tapi dia masih sempat tersenyum kepadaku. Tidak tampak keluh kesah yang terlukis di wajah itu. Atau mungkin senyuman itu adalah pembalut kesedihannya, aku tak tahu. saya duduk bersamanya di taman kota, berdua, sambil bercerita panjang lebar. Hamid, itulah panggilannya. dengan suara paraunya seperti orang pesakitan yang sepertinya menderita penyakit yang tak lazim, dia menceritakan bahwa dia punya keluarga tinggal tidak jauh dari sini. Dia di sini duduk sambil menatap aktifitas mobil yang lalu lalang untuk menghibur dirinya. Aktifitas kota Damaskus adalah sumber hiburann Hamid seperti halnya kita menonton televisi atau mendengarkan radio. Di balik hiruk pikuk mobil dan orang-orang yang berlalu-lalang, Hamid menemukan kenyamanan yang berada di taman kota. Hamid adalah satu-satunya orang miskin yang kutemui dengan wajah yang ramah dan penuh santun. Semakin dalam ia menceritakan hayatnya, semakin luluh hatiku untukku untuk memberikan sesuatu untuknya. Cukup lama kita duduk-duduk di taman sambil bertukar kata. Hingga di saat aku mesti beranjak, aku tidak sabar untuk memberinya sesuatu. Namun, dengan suara yang lugas bercampur parau itu, dia menolak apapun yang aku berikan. Nampaknya, apapun usaha yang ingin kuberikan padanya dalam bentuk pertolongan dianggapnya beban buatnya. Itu dikarenakan Hamid merasa hal itu mempertegas dirinya yang lemah dan menjadi beban orang lain. Hamid bukanlah orang miskin yang duduk di emperan jalan sembari mengharap belas kasih dari orang yang berlalu-lalang. Dalam balutan garmen kusut, dia masih memiliki harga diri. Layaknya Negaranya yang diancam AS dan sekutunya seperti sekarang ini. Suriah kini bergelora. Sejak 2011, kota-kota yang ada di Suriah kini tidak lagi dipenuhi aktifitas keseharian warganya yang menjadi hiburan Hamid dulu, namun sudah dipenuhi oleh prajurit berlaraskan senapan yang siap menembakkannya kapan pun dan di mana pun. Suara keramaian kota berganti menjadi desing peluru dan suara gaduh artileri berat yang saling bersahutan satu sama lainnya. Namun, kobaran api bercampur debu reruntuhan bangunan nampaknya tidak menciutkan semangat tentara Suriah untuk mempertahankan negerinya dari invasi kaum ekstrimis dan oposisi baik asing maupun dalam negeri. Di bawah dukungan barat, kaum pemberontak terus merongrong dan menguji kekuatan tempur pasukan Suriah. Sudah dua tahun lamanya kakiku tidak menginjak tanah Suriah. Saya hanya mampu melihatnya dari layar kaca televisi maupun dari layar monitor laptopku berukuran 14 inchi. Kini saya hanya menatap miris melihat puing-puing bangunan yang runtuh selepas dihantam rudal dan artileri-artileri berat. Apakah ini yang disebut perang? Tragedi pembunuhan manusia, jika melihat kitab Perjanjian Lama, sudah terjadi antara Abel dan Cain dalam kitab Kejadian. Itu berarti, selepas manusia pertama lahir, yakni Adam, manusia sudah mewarisi sifat baru yang diperagakan oleh anaknya, Cain, yaitu Homicidum, atau pembunuhan. Sifat itu ternyata diwarisi dari generasi ke generasi sepanjang anak-cucu Adam. Jika Cain membunuh Abel karena kecemburuan, maka kini selalu atas nama kekuasaan, ideologi, harga diri, kejayaan, dan supremasi. gen ini, seperti halnya penyakit genetis, diturunkan secara turun-temurun sepanjang generasi umat manusia dan semakin mengerikan pula. Berawal dari Cain yang hanya membunuh seorang Abel, kini manusia berani membunuh dalam jumlah yang lebih dari satu hingga pada akhirnya saling membunuh satu sama lainnya. Pembunuhan Abel kini ber-evolusi menjadi pembantaian dan peperangan. Semenjak itu, "perang" dan "pembantaian" masuk ke dalam kosa kata di setiap 7000 lebih bahasa yang ada di dunia. Sejarah manusia penuh sesak dengan peperangan dan pembantaian. Sejarah tidak akan melupakan pembantaian suku Indian oleh koloni Amerika, Pembantaian Armenia oleh Turki Osmani, pembantaian kaum Yahudi oleh Nazi Jerman saat Perang Dunia II, hingga pembantaian PKI yang terjadi di tanah air kita dulu. Manusia seakan tidak pernah melupakan genetik yang ditinggalkan Cain ribuan tahun yang lalu. Sembari memantau peristiwa-peristiwa teranyar di Suriah melalui media cetak maupun elektronik, saya selalu termenung, apakah manusia dilahirkan untuk membunuh manusia lainnya? Apakah orang-orang yang dulu saya lalui di sepanjang trotoar ibu kota bakal membunuh sesamanya? Tidak terbayang penjaga warung langganan saya bakal menjadi pembunuh atau terbunuh. Saya juga tidak bisa membayangkan orang-orang yang lalu lalang bersamaku dulu bakal mengambil belati dan tusuk satu sama lainnya hanya karena pro dan kontra Asad? Juga bagaimana dengan taksi-taksi yang selalu saya naiki. Begitupun dengan Hamid, orang yang pesakitan itu dengan wajah ramah, apakah sudah berada di antara sederetan mayat yang menjadi korban perang.Hingga kini saya tidak tahu. Yang saya ketahui adalah bahwa Perang dan pembantaian akan selalu pedih dan pahit serta tak terhindarkan oleh umat manusia. Perang dan pembantaian akan ada dalam berbagai bungkusan sepanjang sejarah umat manusia, entah berkemasan ideologi, agama, kekuasaan, atau bahkan cinta. Terkadang pernyataanThomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala sesamanya terdengar benar tatkala melihat apa yang terjadi di Suriah. Dalam suatu momen saya teringat Earnest Hemingway yang pernah meliput perang saudara di Spanyol berkata: "Mereka menulis tentang betapa manisnya dan pantasnya mati demi suatu kaum atau negara di masa lampau. Namun di dalam peperangan modern, tidak ada yang manis maupun pantas saat kau mati. Kau akan mati seperti seekor anjing tanpa alasan apapun."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H